REFLEKSI HUKUM (J. J. H. BRUGGINK)


Apakah Hukum Itu Ilmu?

A.   Pengantar : Dua Jawaban
Istilah “ilmu” (wetenschap) mengenal arti ganda yaitu “ilmu” dapat menunjuk pada prosesnya, aktivitasnya dan ilmuannya, dan pada produk dari proses tersebut yaitu teori ilmiah.
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh teoritikus ilmu dalam Ajaran Ilmu (wetwnschapsleer) mereka adalah berbeda-beda. Oleh sebab itu yang dimaksudkan dengan “suatu ajaran” adalah teori yang normatif, karena teori normatif adalah teori yang dianggap benar menurut ajarannya. Sedangkan Ajaran Ilmu adalah teori yang merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu teori untuk dapat dikualifikasikan sebagai ilmu.
Apa yang dikemukakan diatas menimbulkan pertanyaan, bahwa apakah ilmu hukum (dalam arti luas) itu suatu ilmu? Pertanyaan tersebut memunculkan jawaban yang berbeda-beda.
Terhadap pertanyaan “Apakah Hukum itu adalah suatu ilmu?” telah diajukan dua jawaban yang saling berlawanan yang timbul dari pandangan secara respektif yaitu “pandangan positivistik” dan “pandangan normatif”, yang dua-duanya timbul dari titik-titik berdiri (standpoint) dalam ajaran ilmu yang umum, yang di dalamnya atas dasar ideal ilmu atau cita-cita ilmu (wetenschapsideaal) dijabarkan kaidah-kaidah yang harus dipenuhi oleh ilmu.
Perbedaan pandangan antara positivistik dan normatif pertama-tama bertumpu pada perbedaan dalam teori tentang kebenaran yang dianut pandangan-pandangan itu yakni :
1.                             Pandangan positivistik
Teori positivistik berpegang teguh pada teori korespondensi tentang kebenaran dimana menurut teori positivistik kebenaran itu adalah kesamaan antara teori dan kenyataan dunia dengan kata lain hubungan sentral di dalam ilmu adalah hubungan antara subjek (ilmuwan) dan objek (dunia kenyataan) yang dipandang dapat menghasilkan pengetahuan objektif bagi produknya.
Untuk menghasilkan pengetahuan yang objektif bagi produknya dengan berkorespondensi dengan dunia kenyataan maka ilmuannya bekerja dari suatu perspektif eksternal (bukan perspektif internal) yakni ilmuan tersebut mendekati dunia kenyataan sebagai seorang pengamat (toeschouwer/penonton) yang meregistrasi apa yang dilihatnya (apa yang tertangkap dalam pengamatannya) dengan menggunakan metode pengamatan inderawi (empirik) karena menurut pandangan ini pancaindera akan bekerja secara objektif, sebagai sebuah cermin yang memberikan gambaran kenyataan dunia luar sebagaimana adanya tanpa mengubahnya. Oleh sebab itu proposisi-proposisi yang disebut ilmu berdasarkan kriterium positivistik adalah sosiologi hukum empirik dan teori hukum dalam arti sempit sedangkan yang lainnya termasuk dalam keahlian hukum “rechtsgelereerd heid” (keahlian hukum tertindik dan kemahiran hukum tertindik) karena, tidak secara langsung diarahkan pada hukum sebagai sistim konseptual itu sendiri, melainkan pada kenyataan kemasyarakatan yang di dalamnya hukum memainkan peran yang artinya masalah-masalah sosiologi hukum berkenan dengan semua jenis akibat, yang dimaksudkan dan yang tidak dimaksudkan, yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, yang dapat menimbulkan kaidah-kaidah hukum dalam kenyataan masyarakat. Maka dapat dikatakan definisi sosiologi hukum adalah sebagai teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dan kenyataan masyarakat. Hubungan tersebut dapat dapat dipelajari dengan dua cara, pertama, ilmuwan mencaoba menjelaskan kaidah hukum dari sudut kenyataan masyarakat. Kedua, ilmuwan dapat menjelaskan kenyataan kemasyarakatan dari sudut kaidah-kaidah hukum. Secara ekstrim pandangan ini menyebabkan bahwa teori ini hanya boleh memuat proposisi-proposisi informatif dan empirik dan proposisi-proposisi normatif dan evaluatif hanya akan menonjolkan atau akan diwarnai oleh titik berdiri subjektif peneliti yang non-kognitif dan tidak dapat dipergunakan dalam suatu teori empirik, sebab tidak memberikan gambaran yang berkorespondensi dengan kenyataan kemasyarakatan.
Perlu dikatahui bahwa pandangan positivistik tidak hanya berpegang teguh kepada teori korenspondensi kebenaran, melainkan pandangan tentang moral juga sebagai ciri dari pandangan positivistik yang memainkan peran sangat penting.
Seperti yang diketahui bahwa moral sebagai proposisi yang memiliki sifat menilai yang dinamakan proposisi evaluatif, yang mana di dalam moral proposisi-proposisi normatif dan evaluatif memainkan peran utama sehingga menurut pandangan positivistik, proposisi-proposisi ini adalah non-kognitif (tidak berdasar pada pengetahuan faktual yang empiris) yang artinya bahwa mereka tidak memberikan pengetahuan dan hanya proposisi informatif yang memberikan pengetahuan, mengingat semua pengetahuan berdasarkan teori korespondensi (hubungan antara bentuk dan isi) tentang kebenaran yang dianut harus objektif. Moral yang terutama memuat proposisi-proposisi normatif dan evaluatif, menurut pandangan positivistik bersifat subjektif.
2.    Pandangan normatif
Lain halnya dengan pandangan positivistik, pandangan normatif manganut teori yang lain sebagai latar belakangnya, yakni Teori Pragmatik. Dalam teori kebenaran pragmatis, suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi secara memuaskan. Dalam teori pragmatis, apabila teori tersebut berfungsi secara memuaskan maka teori tersebut harus memerlukan beberapa persetujuan yang cukup untuk dianggap benar. Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa menurut pandangan normatif, hubungan inti dalam ilmu bukanlah hubungan antara subjek dan objek, melainkan antara subjek dan subjek (antara subjek satu dengan subjek yang lainnya), dimana teori yang mendapatkan persetujuan yang cukup, menghasilkan sebagai akibatnya penetahuan inter-subjektif (berdasar pada pengetahuan faktual yang empiris).
Untuk menghasilkan teori, pandangan normatif tidak bekerja dari suatu perspektif eksternal melainkan perspektif internal yang artinya bahwa para ilmuannya langsung mendekati dan langsung terikat ke dalam gejala-gejala yang hendak dipelajarinya yang tidak memisahkan antara hukum dan moral karena mereka adalah kognitif (kepercayaan tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu) yang artinya bahwa mereka seperti proposisi informatif mengungkapkan pengetahuan, yang dalam hal ini meletakan tekanan bahwa pengetahuan itu bersifat inter-subyektif yaitu penempatan pendirian moral hanya dapat benar jika ia dapat dibenarkan secara rasional berkenan dengan partisipan lain pada diskusi moral. Sedangkan metode pengamatan yang digunakan oleh ilmuan-ilmuan dari pendangan normatif ini bukan hanya menggunakan metode panca indera (metode pengamatan inderawi) yang menurut pandangan positivistik membuahkan hasil-hasil ilmiah, melainkan juga metode-metode lain (pluralis metode). Maka menurut pandangan normatif, tiap teori (dalam arti luas) dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan bagi ilmu, sehingga tiap cabang teori hukum (dalam arti luas) dapat menyandang gelar “ilmu”.
Karena metode pengamatan normatif tidak hanya menggunakan metode inderawi melainkan juga menggunakan metode-metode lain (pluralis metode) maka teori yang dihasilkan harus berfungsi secara memuaskan dan harus mendapatkan persetujuan dari orang-orang dalam golongan ilmuannya untuk dapat dianggap benar yang artinya teori yang dihasilkan tersebut dapat berubah jika dalam penerapannya tidak menghasilkan hasil yang memuaskan sesuai dengan pendekatan yang dilakukan terhadap suatu gejala yang dapat memberikan pengetahuan.
Seperti yang sudah diketakan diatas bahwa pandangan normatif, tidak melakukan pembedaan (pemisahan) antara hukum dan moral yang menurut pandangan positivistik tidak memberikan pengetahuan dan moral pada pandangan normatif timbul dari intuisi, perasaan atau naluri manusia atau menurut yang lain dari kepercayaan (keyakinan, iman) yang tidak dapat dibenarkan secara rasional. Mengingat menurut pandangan normatif penetapan pendirian moral hanya dapat benar, jika ia dibenarkan secara rasional berkenan dengan partisipan lain pada diskusi moral, bukankah tanpa pembenaran rasional yang demikian mustahil memperoleh persetujuan. Sama seperti suatu teori hukum dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan sebagai ilmu, juga teori moral dapat memenuhi syarat-syarat yang demikian itu.

Atas dasar dua alasan tersebut diatas, reaksi terhadap pertanyaan tentang keilmuan dari hukum dikembalikan (ditetusuri) sampai pada dua jawaban yang berlawanan yakni pertama, agar perbedaan dalam wawasan tentang sifat dari moral tampil ke permukaan. Selanjutnya, untuk mempertajam pertentangan dalam metode ilmiah. maka berdasarkan hal tersebut dapat kita ketahui ideal ilmu (cita-ilmu) dari ilmu hukum yang sekarang ini telah memperoleh posisi penting (menjadi pusat perhatian). Pengaruh dari ideal ini adalah demikian besar sehingga historikus, ilmuan sosial dan ilmuan hukum (khususnya pengembangan teori hukum empiris), walaupun mereka tergolong ke dalam para ilmuan pengemban ilmu-ilmu kerohanian (Geisteswissenschaften, Ilmu-ilmu Manusia), namun telah menerapkan metode pengamatan inderawi karena mereka memandang metode ilmu kerokhanian tidak ilmiah lagi. Demikianlah, orang sampai pada dua jawaban yang berbeda dimana yang satu bertolak dari pandangan positivistik, yang di dalamnya hukum dipisahkan dari moral serta ideal ilmu alam menempati kedudukan sentral yang lain bertolak dari pandangan normatif, yang berpegang teguh pada keterjalinan antara hukum dan moral, serta metode Ilmu Kerokhanian yang biasa.
Jika orang hendak mengadakan pembedaan semata-mata berdasarkan teori kebenaran yang dianut, maka orang tersebut akan sampai pada suatu pembagian-tiga dalam ilmu : ilmu-ilmu empiris yang menganut teori korespondensi; ilmu-ilmu deduktif yang menganut teori koherensi misalnya Matematika dan Logika; dan ilmu-ilmu normatif yang menganut teori pragmatis.
P.G. Korrel dan O.W.M. Kamstra (1991 :30-34) mengemukakan bahwa pembagian tradisional antara ilmu-ilmu alam (hubungan sibjek-objek) dan ilmu-ilmu kerokhanian (hubungan subjek-subjek), yang memberikan catatan bahwa pembagian ini sudah ketinggalan.
B.   Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal
Atomisme logikal adalah ajaran ilmu yang dipertahankan oleh Filsuf dan Logikus Inggris Bertrand Russell dan oleh filsuf Ludwing Wittgenstien. Dalam ajaran ilmu ini, teori korespondensi kebenaran menduduki kedudukan sentral dan dianut secara luas yang berbicara mengenai pengetahuan ilmiah dimana jika pengetahuan itu memberikan gambaran yang persis dari kenyataan yang dapat diamati (waarneembare werkelijkheid) yang berarti untuk mencapai pengetahuan yang keras dan dapat dipercaya seperti apa yang ingin dicapai oleh ilmu, maka secara langsung dapat dikembalikan pada unsur-unsur yang terberi (tertangkap) dalam pengamatan yang pasti dan tidak dapat diragukan. Untuk itu orang harus mengembalikan kenyataan sampai pada unsur-unsur dasar (basis-elementen) yang menjadi objek dari penyadaran langsung. Unsur-unsur dasar ini dinamakan fakta-fakta atomair. Dengan demikian maka pengetahuan itu sangat bersifat empiris yang harus diamati secara inderawi untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang objektif. Menurut Atomisme Logikal, kaidah-kaidah hukum dan semua yang bersifat normatif tidak dapat diketahui kebenarannya karena semua putusan yang dibuat tentang hal-hal demikian adalah subjektif yang lebih bertumpu pada spekulasi.
Positivisme Logikal berkaitan dengan Atomisme Logikal, dimana para penganut positivisme logikal berpegang teguh pada sifat empiris dari pengetahuan ilmiah yang menurut mereka pengetahuan yang lain tidak objektif dan dengan demikian mereka tidak setia pada kebenaran. Kriterium penguji kebenaran positivisme logikal adalah asas verifikasi yang menyatakan bahwa hanya putusan-putusan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris saja yang dapat dianggap benar artinya yang dapat diuji dengan kebenaranlah yang dapat diamati secara inderawi.
Hal yang dapat di verifikasi adalah sesuatu yang lain  dari hal yang sudah di verifikasi artinya putusan-putusan ilmiah yang sudah cukup bahwa kemungkinan kebnenaran mereka dapat dibuktikan dengan cara empiris, yang tidak berarti bahwa kebenaran dari putusan-putusan harus sudah dibuktikan untuk dapat menyebut mereka ilmiah. jadi hal yang sudah diverifikasi tidak disyaratkan.
jika orang menguji suatu putusan ilmiah dan hasilnya putusan tersebut sesuai dengan kenyataan, maka putusan itu sudah deverifikasi artinya kebenaran sudah dikuatkan (difarmasi, ditegaskan).
Oleh karena itu, pada akhirnya dapat diketahui bahwa metode yang dianut (diajukan dan dibela) oleh para penganut Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal adalah metode induksi (kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal atau partikular tertentu lalu ditarik kesimpulan yang dianggap benar dan berlaku umum) karena mereka mengajukan bahwa penggambaran fakta-fakta atomair atau yang dapat diamati pada tataran yang lebih umum dengan menggunakan suatu bahasa yang konsisten logikal dikonstruksi menjadi teori ilmiah. Selanjutnya, berdasarkan syarat-syarat yang keras dari kedua teori itu disimpulkan bahwa metode empiris mereka adalah satu-satunya metode yang dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah dan metode-metode yang lain menghasilkan pengetahuan subjektif dan spekulasi, sebab hanya metode empiris yang memungkinkan orang lain dengan cara objektif dan sangat persis menguji hasil-hasil ilmiah yang ditemukan.
C.   Rasionalisme Kritikal
Rasionalisme kritikal adalah aliran yang melawan ajaran ilmu dari para penganut Antomisme Logikal dan Positivisme Logikal karena menurut Rasionalisme Kritikal, dail yang dipastikan sendiri bahwa pengetahuan ilmiah adalah benar secara tidak tergoyahkan (onwankelbaar waar) adalah terlalu jauh. Putusan-putusan ilmiah (wetenschappelijke uitspraken) yang sesuai dengan kenyataan yang dapat diamati menurut mereka hanya menghasilkan pengetahuan yang benar (waarschijnlijke kennis), artinya pengetahuan yang dapat dianggap benar sampai pada terbukti yang sebaliknya.
Dail tersebut berkaitan dengan penolakan Rasionalisme Kritikal terhadap metode induksi maupun asas verifikasi yang merupakan kriterium penguji kebenaran pada para penganut Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal. Sedangkan menurut Rasionalisme Kritikal, bukan metode induksi yang menghasilkan teori ilmiah dengan menggunakan suatu bahasa yang konsisten logikal, melainkan metode deduksi karena cara kerja deduksi menyimpukan hal-hal yang khusus dari dail-dail umum yang merupakan metode yang sesuai dengan gambaran ideal dari ilmu, dimana berpikir secara deduktif yang cocok dalam aliran filsafat Rasionalisme karena hipotesisi deduktif selalu kritis harus dihadapkan pada pengujian empirik.
Menurut Rasionalisme Kritikal, putusan ilmiah mungkin saja merupakan penggambaran fakta yang dapat diamati, tetapi baru sampai pada putusan ilmiah tersebut, jika orang sebelumnya sudah membentuk suatu hipotesis umum, untuk kemudian diuji pada fakta-fakta konkrit yang dapat diamati. Dengan demikian, Rasionalisme Kritikal memilih titk awal yang lain untuk proses ilmiah dimana ilmuan tidak memulai dengan meregistrasi  (mendata dan menata) fakta-fakta konkrit yang dapat diamati seperti yang diajukan oleh Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal, melainkan Rasionalisme logikal mulai dengan merumuskan hipotesis-hipotesisnya, yang diuji secara deduktif pada fakta-fakta yang dapat diamati, agar timbul sebuah teori ilmiah yang objektif.
Hipotesisi tersebut konsitutif bagi fakta-fakta yang teramati yang berarti mencari apa yang paling disorot pada kenyataan yang dapat diamati yang seringkali berdasarkan pandangan-pandangan intersubjektif tentang bagaimana suatu penelitian seharusnya dilaksanakan, tetapi memuat juga sudut pandangan penelitian dari peneliti.
Sebagai kriterium untuk mengontrol putusan-putusan ilmiah, para penganut Rasionalisme Kritikal mengajukan asas falsifikasi yang menguji hipotesis sebanyak mungkin pada fakta-fakta konkrit yang dapat diamati ketimbang asas verifikasi dari Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal. Jika hipotesis itu, terhadapnya dilakukan percobaan-percobaan falsifikasi, namun tetap dipertahankan, maka hipotesis tersebut menghasilkan pengetahuan yang eventual dapat diterima sebagai mungkin benar.
Walaupun bijak bagi kita untuk di dalam praktek bertindak seolah-olah putusan-putusan ilmiah adalah mungkin benar harus dikemukakan bahwa kemungkinan itu tidak pasti karena menurut Popper, kemungkinan dari pengetahuan ilmiah itu adalah nihil.
Syarat-syarat menurut penganut Rasionalisme Kritikal harus diajukan kepada putusan-putusan ilmiah menjangkau lebih jauh ketimbang syarat-syarat penganut Atomisme logikal dan Positivisme Logikal bahwa putusan-putusan juga harus sebanyak mungkin dapat (terbuka untuk) difalsifikasi.
Sudah dikatakan bahwa ideal ilmu dari Rasionalisme Kritikal pada masa kini untuk ilmu-ilmu alam dipandang sebagai yang berlaku (heersende, berpengaruh). Dalam ideal ilmu pengetahuan subjektif yang dianut oleh Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal ditolak sebagai spekulasi memainkan peran penting, karena ia mempengaruhi penyusunan hipotesis yang harus diuji itu. Dalam ideal ini, penelitian ilmiah tidak lagi memiliki sifat yang demikian statis, tetapi resultat ilmiahnya juga kurang pasti ketimbang dalam teori Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal.
Penelitian ilmiah pada Rasionalisme Kritikal bersifat dinamis ia memberikan hasil-hasil yang lebih “rendah hati” (bescheidener resultaten, loe profile). Dengan terus menguju hipotesis itu melalui “jatuh dan bangun” atau “dugaan dan kekeliruan” (dalam peristilahan Popper, “trial and error” atau “conjecture and refutation) suatu kesimpulan ilmiah dicapai, yang dapat dinilai hanya benar untuk semetara dengan tetap berhati-hati. Meskipun ideal ilmu ditujukan dalam ilmu alam, namun ia tetap menarik juga diterapkan dalam ilmu hukum (Teori Hukum Empirik dalam arti sempit)
D.   Teori Thomas Khun
Menurut teori Thomas Khun, ilmu di dekati dari suatu sudut pendekatan yang sangat berbeda, yang dari dalamnya dimunculkan kritik terhadap ideal ilmu menurut Rasionalisme Kritikal. Rasionalisme Kritikal, sama seperti Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal, merasa cukup untuk menetapkan ideal ilmu mereka berdasarkan kegiatan pengembanan ilmu itu sendiri. Mereka memusatkan perhatian pada metode ilmu dan pada kriterium yang berdasarkannya putusan-putusan ilmiah yang benar atau sementara benar dapat diuji (pendekatan internal).
Namun menurut Thomas Khun mendekati ilmu secara eksternal sebagai historikus (penulis sejarah) dan sosiolog. Di dalam teorinya juga pertama-tama tidak ditemukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh ilmu, melainkan lebih banyak persyaratan yang harus dipenuhi dan ilmu-ilmu sebagaimana tampak dari sejarah mereka.
Thomas Khun memaparkan sejarah dari teori ilmiah yang di dalmnya ditampilkan bahwa orang dapat melakukan penelitian ilmiah secara substansial subur, jika orang dapat bertolak dari suatu keseluruhan paket pandangan yang mapan dikalangan ilmuan. Paket pandangan ini kurang lebih terdiri atas teori-teori, hipotesis-hipotesis, pengertian-pengertian dan metode-metode yang mapan berkenan dengan masalah-masalah ilmiah tertentu (Paradigma Ilmu) artinya Ilmu mencatat kemajuan terutama jika ia sebagai ilmu diteguhkan karena suatu paradigma (cara pandang seseorang terhadap suatu hal yang akan mempengaruhi dalam berpikir) yang kurang lebih mapan berpengaruh (berlaku). Sebelum keadaan itu terjadi, berlangsung keadaan yang disebut periode pra-paradigmatik. Dalam periode itu penelitian substansial muncul pada tahap kedua, karena tentang hampir setiap putusan ilmiah terdapat ketidakpastian dan orang membuang energinya dalam perjuangan metode. Periode yang demikian tidak menghasilkan penelitian yang membuahkan hasil, karena orang terus menerus sibuk merenungkan landasan dari ilmu yang mana hal tersebut berlangsung lama sampai timbulnya paradigma, yang perlahan-lahan menjadi berlaku sehingga menciptakan cabang ilmu baru. Hal tersebut mempunyai akibat bahwa gagasan-gagasan baru dalam ilmu itu yang bertentangan dengan paradigma yang berlaku tidak memperoleh perhatian artinya jika gagasan-gagasan baru yang mungkin saja melanggar (bertentangan) dengan paradigma yang berlaku, tetapi demikian ternyata membuahkan banyak hasil (subur), maka paradikma itu menjadi goyah, dan dapat dikatakan terjadi suatu revolusi ilmiah.
Pada intinya Thomas Khun berbicara tentang anomali (penyimpangan/keanehan yang terjadi atau tidak seperti biasa), artinya hal yang tidak cocok (tidak pas) dalam paradigma yang berlaku. Jika paradigma itu cukup kuat maka anomali-anomali itu tidak ditolak (dinegasi) atau diubah sedemikian rupa sehingga dapat ditempatkan dalam paradigma itu. Jika usaha itu ternyata tidak berhasil, maka sebuah paradigma kehilangan mendannya.
Selebihnya, istilah “paradigma” yang menempati posisi sentral dalam teori Khun adalah tidak jelas. Dalam “postscript” Khun telah mencoba menguraikan apa yang ia artikan dengan suatu paradigma (Khun, 1970 : 182-187) yakni istilah lain untuk “paradigma” yang digunakan Khun adalah “matriks disipliner” yang berarti paradigma adalah suatu keseluruhan yang majemuk yang menurut Khun antara lain:
1.    Generalisasi-generalisasi simbolik atau hukum-hukum alamiah dan definisi-definisi, yang kadang-kadang diungkapkan dalam bentuk simbolik.
2.    Unsur-unsur metafisik. Adalah peranggapan-peranggapan kefilsafatan yang berdasarkan teori bertolak dan yang tidak lagi didiskusikan.
3.    Nilai-nilai, seperti konsistensi logikal, kesederhanaan, kecermatan, hal dapat diterima (akseptabilitas).
4.    Contoh-contoh penyelesaian masalah secara ilmiah.
Berdasarkan pemaparan tentang sejarah ilmu oleh Khun, sekurang-kurangnya muncul kesimpuan bahwa ideal-ideal ilmu menurut Rasionalisme Kritikal adalah tidak riil. Sementara Rasionalisme Kritikal menuntut dari ilmuan bahwa ia sendiri meletakan teorinya pada sasaran kritik dengan jalan, konfrom asas falsifikasi, terus menerus mengujinya pada fakta-fakta, yang mana ilmuwan ilmuwan justru akan memperkuat teorinya untuk sebaik mungkin bertahan terhadap semua serangan. Hal ini adalah, pasti ada paradigma yang berlaku, situasi yang normal.
Untuk tematik kita adalah penting bahwa teori Khun dikemukakan bahwa bahkan di dalam ilmu-ilmu alam, relasi inti dalam ajaran ilmu bergeser dari hubungan subjek-objek ke hubungan subjek-subjek. Dengan itu Khun, dengan teorinya dari sudut pendekatan lain telah menciptakan jembatan antara model dari ilmu alam dan metode dari ilmu manusia dengan memperlihatkan bahwa alasan mengapa pada akhirnya teori ilmih yang satu memperoleh posisi istimewa diatas yang lainnya adalah suatu urusan dari pandangan-pandangan inter-subjektif yakni tentang hal memperoleh konsensus dalam lingkungan para ilmuan terkait. Jadi pengetahuan ilmiah adalah suatu produk kelompok, Produk dari sekelompok ilmuan dan sekutu-sekutu politik, Financial dan ekonomi mereka.
E.   Hermenuetik dan Pragmatisme
a.    Hermenuetik
Disamping Ilmu-ilmu Alam sesungguhnya juga Ilmu-ilmu Manusia menjadi pusat para teoritikus ilmu yang mana aliran yang utama ditujukan pada ilmu-ilmu itu adalah Hermenuetik.
Suatu hal terberi (gegeven) yang menempati posisi sentral dalam Hermenuetik adalah titik tolak bagi ilmuwan sehubungan dengan tematik dari ilmu-ilmu Manusia tidaklah mungkin menempatkan diri sebagai pengamat (penonton) terhadap kenyataan. Penelitian dalam bidang seni, teologi, filsafat, antropologi. Sosiologi dan juga dalam hukum menurut hermenuetik menuntut bahwa ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori ilmiahnya sebagai partisipan (deelnemer) pada gejala-gejala. Pendekatan eksternal adalah tidak mungkin, karena gejala-gejala yang dipelajari tidak dapat dibawa kembali kepada fakta-fakta yang harus diuji secara empiris.
D.H.H. Meuwissen (1988 : 307-312) mengungkapkan hal ini secara lebih persis dengan mengemukakan bahwa pendekatan eksternal adalah suatu momen dari pendekatan internal dimana posisi eksternal itu sendiri adalah suatu variasi dari titik berdiri internal, yang maksudnya bahwa dalam posisi itu perhatian (hampir) semata-mata diberikan pada aspek-aspek luar yang dapat diamati dari keberlakuan atau kepatuhan pada aturan-aturan hukum.
Realisasi inti dalam ilmu-ilmu ini menurut hermeneutikus adalah juga bukan relasi subjek dan objek, melainkan subjek dan subjek. Dalam ilmu-ilmu ini, hanya lebih berkenan dengan konfortasi pandangan-pandangan dari subjek-subjek yang tentang masalah-masalah yang memiliki sesuatu untuk diakatakan (mempunyai pendapat/pandangan untuk diajukan) dalam diskusi peserta yang masing-masing berdasarkan latar belakangnya sendiri untuk mencapai suatu titik berdiri yang sama (standpoint). Dengan demikian memerlukan waktu yang panjang, dalam ilmu-ilmu itu terbentuk tradisi yang di dalamnya diskusi tentang berbagai tematik selalu ditampung dan diolah. Menurut para hermeneutikus, tradisi itu mutlak diperlukan untuk pengembanan ilmu karena tiap orang berbicara dengan bertolak atau dalam kerangka tradisi itu tetapi memiliki wawasan subjektif sendiri, maka selalu dimungkinkan mencapai suatu titik berdiri bersama dan jika hal itu tidak tercapai bagaimanapun di antara mereka masih tetap dapat berdiskusi tentang masalah (tema) yang sama.
Hermenuetik dewasa ini mewujudkan kesejajaran (pararel) dengan ajaran-ajaran ilmu hukum alam, bahwa konsensus dari para ilmuan adalah sangat penting :
1)   Popper : mewujudkan sumber inspirasi untuk hipotesis-hipotesis bagi ilmuan individual
2)   Thomas Khun : menentukan paradigma yang berlaku dalam ilmu yang bersangkutan
3)   Gadamer : hanya dari konsensus ini ilmuwan dapat mengemban ilmu yang diletakan dalam karya ilmiah.
b.    Pragmatisme
Pragmatisme ini mendasarkan pada teori kebenaran pragmatik yang sudah dibahas diatas dan mencakup dalam ungkapan “Banar adalah apa yang efektif (waar is way werkt”.)
Dari situ sudah tampak bahwa orang tidak dapat mengharapkan para pragmatikus memiliki teori kebenaran yang tuntas terperinci. Para pragmatikus justru menolak setiap metafisika (landasan) dan ajaran pengetahuan (kinnisleer). Sebab dalam teori-teori  dicari kriteria yang berdasarkannya kebenaran dari putusan-putusan ilmiah akan dapat diukur yang menurut para pragmatikus, kriteria demikian itu tidak ada.
Pragmatisme sering disalahkan bahwa ia, karena melepaskan semua kriteria kebenaran, bermula pada suatu relativisme  mutlak, sebab tiap orang dapat mempertahankan bahwa putusan-putusannya adalah benar jika ia mempercayainya. Menurut pragmatikus, tidak ada kriteria untuk kebenaran dan dengan demikian orang diserahkan pada praktek pengembanan ilmu, yang di dalamnya orang harus beriktiar dalam diskusi terus menerus dengan arah untuk mencapai hasil-hasil sefungsional mungkin. Hal itu menggaris bawahi titik berdiri, yang dalam buku ini dipertahankan yakni kaidah-kaidah moral adalah kaidah-kaidah terpenting yang dikenal manusia.
F.    Persyaratan Untuk Pengembangan Ilmu
Tidak setiap teori adalah teori ilmiah, jika suatu teori ingin dikatakan teori ilmiah maka ia harus memenuhi tuntutan-tuntutan (syarat-syarat) tertentu dan hal tersebut juga berlaku untuk teori-teori hukum dalam hukum (dalam arti luas). Sebuah teori ilmiah bidang hukum harus berkenaan dengan hukum, sebagaimana dipahami dalam lingkungan luas para yuris (ahli hukum). Obyek ilmu hukum dengan begitu menentukan batas-batas pada isi teori itu, batas-batas tersebut sebagian besar ditentukan oleh cara berbahasa para ilmuwan hukum yang berlaku tentang obyek itu. Bagaimanapun ilmuwan hukum itu dibatasi oleh tradisi yang di dalamnya ia berada, namun dari ilmuwan tersebut ia dituntut suatu prestasi teoritik yang kreatif, yang didalamnya pemahaman-pemahaman pribadinya memainkan peran. Karena itu ilmuwan hukum menyadari apa yang menyibukan dirinya apa yang ia tanagani. Sebelum atau sementara berlangsung aktivitas ilmiahnya, ilmuwan hukum harus menetapkan secara tajam permasalahnya dalam teorinya dan eventual menyempurnakannya (bijstellen). Jika ia tidak melakukan hal itu maka tidak jelas apa yang akan dicari teorinya dan pertanyaany-paertanyaan apa saja yang berkenan  dengan obyeknya yang mau ia jawab.
Tujuan penelitian adalah hal penentuan tujuan (doelstelling) atau kepentingan pengetahuan  (kennisbelang). Tujan kpenelitian ini merupakan kepentingan dari teori itu yang dibangun dari sudut penelitian itu. Ilmuwan hukum seyogiyanya menyadari fungsi kemasyarakatannya dan sebagaimana demikian ia harus mengacu pada apa yang menjadi penentuan tujuan dari teorinya. Tujuan pengetahuan disebut juga penetapan permasalahan atau hipotesis, yang terhadapnya diberikan jawaban didalam teori itu. Jadi seorang ilmuwan hukum berusaha dengan teorinya mencapai kegunaan kemasyarakatan dan dengan mengacu padanya ia merumuskan penetapan permasalahannya.
Disamping tuntutan (syarat) bahwa penelitian ilmiah pada ilmu hukum harus bertolak dari sudut suatu penetapan permasalahan, diajukan tuntutan penting kedua pada aktivitas bidang ilmu hukum, hasilnya harus diperoleh dengan cara bermetode. Tuntutan ini memuat tiga hal :
a.    Ilmuwan hukum harus mengemukakan dengan bantuan cara kerja mana yang hendak ia pergunakan untuk membentuk teorinya.
b.    Ia harus mempresentasikan cara kerja itu sedemikian rupa sehingga orang lain dapat mengkaji dari hasil-hasil teorinya dengan bantuan cara kerja itu.
c.    Ilmuwan hukum harus mampu mempertanggung-jawabkan mengapa ia memilih cara kerja itu.
    Pada tuntutan terakhir perlu dikemukakan bahwa disini kembali jelas tampil kemuka tradisi ilmiah dan hubungan timbale balik antara subyek dengan subyek-subyek lain yang mempersalahkan obyeknya. Sering dari sudut tradisi ilmiah, di satu pihak mengalami penetapan permasalahan yang dipilih oleh ilmuwan, dilain pihak melalui obyek yang mau diteliti, ditentukan metode yang mana yang bagi seorang ilmuwan dapat digunakan untuk sampai pada hasilnya yang dapat diterima akal.
Tuntutan kedua yang diajukan kepada ilmuwan hukum adalah bahwa ia membangun dan mempresentasikan teorinya sejelas mungkin. Dengan itu kita sudah berbicara ilmu hukum sebagai produk, tidak lagi ilmu hukum sebagai proses atau aktivitas. Tuntutan kedua yang diajukan bagi suatu teori ilmiah bidang hukum sebagai produk adalah bahwa teori itu disusun secara konsisten. Tuntutan ini yang dalam ajran-ilmu dari ilmu-ilmu alam ditekankan juga berlaku bagi ilmu hukum. Lebih dari itu berbagai langkah dalam uraian itu secara logikal harus saling mengikuti yang satu dengan yang lainnya. Jika tiidak pebaca akan mudah melenceng dan uraian tersebut akan menjadi tidak meyakinkan.
Tuntutan yang ketiga bersifat estetis. Teori itu harus dirumuskan seelegan, sejernih dan secermat mungkin. Semakin banyak teori itu memiliki kedalaman, semakin banyak ia memberikan pemahaman, tetapi hal itu hanya jika putusan-putusan ilmiah itu sederhana, kompak (padat), dan tepat sasaran. Jadi pada kegiatan berkarya ilmuwan hukum diajukan berbagai tuntutan (syarat). Jika tuntutan-tuntutan itu dipenuhi, maka teori ilmiah bidang hukum itu dapat dimengerti bagi lingkungan luas sejawat bidang sekeahlian dan oleh mereka dapat dikaji ketepatannya. Teori ilmiah bidang hukum yang paling dapat diterima adalah teori yang didukung oleh konsensus dari sebanyak mungkin orang yang terdidik dan yang terlatih dalam bidang ilmu hukum.

Komentar