KORUPSI ADALAH LANGKAH AWAL MENUJU PEMISKINAN DAN KEMATIAN


Undang-undang tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat 2, menyatakan, hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang dalam keadaan tertentu secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, c, dan d yang mengatur mengenai perampasan segala bentuk asset-asset baik itu barang bergerak, tidak bergerak, maupun asset dalam bidang usaha serta membayar ganti kerugian yang sebesar-besarnya yang diperoleh baik dari hasil korupsi maupun bukan dan pencabutan seluruh hak-haknya atau keuntungan-keuntungan lainnya yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepadanya.
Berdasarkan fakta yang ada, korupsi merupakan perbuatan/perilaku pejabat negara, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri yang melawan hukum berupa pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas dari perbuatan/perilaku yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan negara yang dipercayakan kepada mereka dan memberikan ancaman serius bagi pelaksanaan pembangunan nasional, pengembangan demokrasi untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia, serta merusak citra bangsa Indonesia dimata dunia, menimbulkan kerugian dalam sektor perekonomian, dan lebih dari itu kerugian yang terbesar dari pelaksanaan korupsi yang terus menerus adalah terciptanya kemiskinan structural yang memerlukan upaya pemberantasan yang sangat luar biasa.
Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, yang serupa dan segambar dengan-Nya yang mewajibkan manusia saling mengisi satu dengan yang lainnya, mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab agar dapat terciptanya kesejahteraan umat manusia seluruhnya, bukan untuk “membunuh” satu dengan lainnya, dengan berpura baik tetapi tidak sama sekali. Selanjutnya Hak Asasi Manusia dan Panca Sila untuk melindungi kepentingan orang banyak atau masyarakat luas bukan untuk melindungi penjahat yang merugikan kepentingan orang banyak atau masyarakat luas dan hanya mementingkan kebutuhan pribadinya sendiri. Apakah perbuatan yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak-hak sosial dan ekonomi tidak melanggar hak asasi manusia? Apakah dengan menikmati harta kekayaan yang dihasilkan dari korupsi diatas penderitaan masyarakat luas tidak bertentangan dengan keadilan, kesejahteraan yang dijunjung tinggi oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar? Apakah perbuatan busuk/buruk tersebut patut untuk dibiarkan untuk terus menindas, merampas, dan merugikan masyarakat luas?
Bahwa syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, maka siapa yang mengakibatkan penderitaan, ia pun harus menderita. Demi ketentraman dan kenyamanan hidup masyarakat serta keadilan hukum dan kesejahteraan, maka sudah wajar dan pantas jika pelaku kejahatan yang sadis/busuk/buruk atau perbuatan yang menimbulkan kekacauan dan kerugian orang banyak atau masyarakat patut untuk menderita dan dibinasakan dari muka bumi.
Jeremi Bentham menyatakan bahwa hukum sebagai alat mencapai kebahagiaan, artinya apa yang cocok digunakan untuk kepentingan masyarakat adalah apa yang cenderung untuk memperbanyak kebahagiaan dan apa yang cenderung  menambah kesenangan individu-individu yang merupakan anggota masyarakat lain dan inilah yang mestinya menjadi titik tolak dalam menata hidup manusia. Karena korupsi sudah terjadi secara luas dan di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi secara lebih efektif dan penjatuhan hukuman pidana maksimal semakin maningkat, sebab dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan merampas hak-hak sosial maupun ekonomi dan dapat merusak kebahagiaan masyarakat luas.
Penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Karena tuntutan perkembangan kebutuhan hukum dari masyarakat dalam rangka mencegah/mematikan/menguburkan dan memberantas perilaku sadis/buruk/busuk secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa dan pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa pula maka pelaksanaan/penerapan hukuman mati dan pemiskinan bagi pelaku tindak pidana korupsi  harus diterapkan.
Aristoles menyatakan bahwa hukum itu sebagai kembaran dari keadilan, sehingga dengan demikan maka hal itu merupakan alat yang paling praktis dalam mencapai kehidupan yang baik, adil dan sejahtera. Maka Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum dan hukum harus ditegakan walau langit runtuh (fiat Jutitia ruat caelum).
Solusi
Pengadilan harus menjunjung tinggi asas kepastian hukum dan keadilan. Sebab, koruptor adalah pengkhianat negara yang merusak sistem perekonomian Indonesia dan berdampak fatal pada pembangunan. Koruptor adalah pelaku pelanggaran HAM berat sehingga pantas dihukum mati. Sepahit apapun suatu aturan hukum wajib untuk diterapkan untuk mendatangkan kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan bagi masyarakat luas, maka dengan penjatuhan hukuman mati dan pemiskinan bagi koruptor, yang telah diberikan peluang oleh undang-undang harus dijalankan, sebagai cara yang paling efektif dan untuk mencapai kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat serta membuat koruptor takut atau enggan melakukan perbuatan terebut karena motivasi yang menyebabkan orang melakukan korupsi adalah takut hidup miskin dan merasa terlindungi oleh hak asasi manusia, dengan pesan yang sangat jelas : korupsi adalah langkah awal menuju pemiskinan dan kematian.

Komentar