REPOSISI KEDUDUKAN PEJABAT UMUM KE PEJABAT NEGARA (Seputar Pemikaran Mengenai Kedudukan Hukum Notaris/PPAT Yang Terpilih Sebagai Anggota Legislatif)
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat”
dalam hal ini ialah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan
kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk
pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta
memilih wakil-wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Bahwa
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, sesuai
ketentuan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap
orang Warga Negara Indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga
perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan
pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.
Pemilihan umum anggota legislatif (DPRD Kabupaten/Kota,
DPRD Provinsi dan DPR serta Dewan Perwakilan Daerah/DPD) yang diselenggarakan berlandaskan azas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dengan menjamin prinsip keterwakilan sebagaimana
tersebut diatas, banyak dari kalangan Pejabat Umum melalui partai politik
tertentu yang “mengadu peruntungan” untuk turut serta merebut satu kursi
legislatif tersebut.
Bahwa
yang dimaksud dengan Pejabat Umum adalah Jabatan Notaris dan PPAT yang diciptakan Negara sebagai implementasi dari Negara
dalam memberikan pelayanan kepada rakyat yang merupakan jabatan yang istimewa,
yang luhur, terhormat dan bermartabat karena
secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri mengenai jabatan
tersebut.
Dikatakan
“mengadu peruntungan” karena mungkin untuk melakukan reposisi kedudukan dari Pejabat
Umum atau Pejabat Publik ke Pejabat Negara, ataupun memang terpanggil untuk
berkiprah dalam dunia politik, sehingga bisa berbuat lebih banyak untuk masyarakat
dari pada kewenangannya yang juga untuk melayani masyarakat dalam membuat surat-surat
atau dokumen-dokumen yang otentik untuk menjamin kepastian hukum suatu
perbuatan hukum para pihak sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh yang
dapat dilihat ada apanya bukan ada apanya.
Berdasarkan
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan, oleh karena itu apapun alasannya,
tidak perlu dipersoalkan, karena pilihan menentukan sesuatu yang terbaik untuk
dijalankan dalam pekerjaan seseorang adalah hak setiap warga negara dan semua
akan kembali kepada yang menjalaninya.
Namun
bagi orang (subyek) yang menduduki jabatan Notaris/PPAT, yang duduk sebagai
anggota legislatif tersebut perlu mandapat perhatian khusus dalam kaitannya
dengan jabatan Notaris/PPAT sebagai Pejabat Umum berdasarkan Undang-Undang.
Pasal
17 huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) menyatakan “Notaris dilarang merangkap sebagai
Pejabat Negara”. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 11 ayat
(1), menyatakan bahwa Pejabat Negara terdiri atas :
a.
Presiden
dan Wakil Presiden;
b.
Ketua,
Wakil Ketua, dan Anggot Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Ketua,
Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d.
Ketua,
Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
e.
Ketua,
Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
f.
Ketua,
Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan;
g.
Menteri
dan jabatan yang setingkat Menteri;
h.
Kepala
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
i.
Gubernur
dan Wakil Gubernur;
j.
Bupati/Walikota,
dan Wakil Bupati/Wakil Walikota;
k.
Pejabat
Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Walaupun
dalam ketentuan tersebut diatas tidak menyebutkan (DPRD Kabupaten/Kota, DPRD
Provinsi dan Dewan Perwakilan Daerah/DPD) sebagai Pejabat Negara, namun dapat dikategorikan
sebagai Pejabat Negara karena orang (subyek) yang menduduki jabatan legislatif
tersebut dipilih oleh rakyat yang memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban
untuk secara demokratis untuk
memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna
mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil
rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang diselenggarakan
berlandaskan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan yang diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan dan berdasarkan
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, menyebutkan Pejabat Negara
adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi dan tinggi negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang
ditentukan oleh undang-undang.
Dalam
aturan hukum tersebut menentukan mereka yang menjadi pimpinan atau anggota
tinggi negara/tertinggi negara sebagaimana tersebut diatas dikualifikasikan
sebagai Pejabat Negara. Pengertian ini menunjuk kepada orang (subyek) hukum
yang menjadi pimpinan atau anggota tinggi/tertinggi negara.
Kedudukan
sebagai Pejabat Negara tidak hanya dapat di isi atau di pangku oleh mereka yang
berkarir dalam bidang pemerintahan (pegawai negeri), kedudukan tersebut pula
dapat di isi pula oleh mereka yang berjuang melalui sarana partai politik atau
juga oleh mereka yang tidak merintis karir sebagai pegawai negeri atau melalui
partai politik. Jabatan itu dapat disebut sebagai Jabatan Politik. Disebut sebagai Jabatan Politik bukan saja dari
cara meraihnya, tetapi sebagai jabatan yang strategis dalam pengambilan
kebijakan atau keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) juga mengatur
untuk notaris sebagai Pejabat Negara, bahwa jika seorang Notaris akan diangkat
sebagai Pejabat Negara maka wajib mengambil cuti selama memangku jabatan
sebagai peajabat negara (Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUJN), dan wajib mengangkat Notaris Pengganti yang
akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai
Pejabat Negara, maka Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai
Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6) UUJN). Ketentuan tersebut sesuai dengan
karakter jabatan notaris yaitu harus berkesinambungan selama notaris masih
dalam masa jabatannya.
Dengan
demikian serta merta seorang Pejabat Umum atau Pejabat Publik dilarang untuk
merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara. Bahwa jika melanggar ketentuan
tersebut (artinya tidak mengambil cuti) akan dijatuhi Sanksi Administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 85 UUJN. Hal yang sama juga diatur pula dalam
Pasal 30 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1999 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dalam ayat (1) huruf c
berbunyi “PPAT dilarang merangkap jabatan
atau profesi lain-lain jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan”.
Kemudian dalam ayat (2) disebutkan bahwa PPAT yang merangkap jabatan tersebut
wajib mengajukan permohonan berhenti kepada kepala BPN. Selanjutnya menurut
ayat (3) jika masa jabatan telah berakhir dapat mengajukan permohonan kembali
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa
ketentuan Pejabat Umum atau Pejabat Publik yang menjadi anggota legislatif
tersebut lebih tegas lagi jika ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk Dewan Perwakilan Daerah disebutkan dalam
Pasal 12 huruf l bahwa “bersedia untuk
tidak berpraktek sebagai akuntan publik, advokad/pengacara, notaris, pejabat
pembuat akta tanah (PPAT), dan melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa
yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota
DPD sesuai peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya untuk anggota DPRD
Kota/Kabupaten/Propinsi dan Pusat dalam Pasal 50 ayat (1) huruf l disebutkan
bahwa “bersedia untuk tidak berpraktek sebagai
akuntan publik, advokad/pengacara, notaries, pejabat pembuat akta tanah (PPAT),
dan melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan
keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan”.
Bahwa
aturan hukum yang mengatur kedudukan Pejabat Umum yang menjadi anggota
legislatif tersebut secara substansi
sangat berbeda yaitu berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, untuk Notaris
wajib mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah
tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat
melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6) UUJN),
dan untuk PPAT berdasarkan Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Kepala BPN
Nomor 1 Tahun 2006, bahwa yang bersangkutan wajib berhenti, dan jika masa
jabatannya berakhir dapat mengajukan permohonan kembali sesuai aturan hukum
yang berlaku, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,Pejabat Umum dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya
sebagai Pejabat Umum.
Jika
menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2), untuk Notaris wajib mengangkat Notaris
Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku
jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat melanjutkan lagi tugas
jabatanya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6) UUJN) maka dapat
dikategorikan bahwa Notaris yang bersangkutan masih berpraktek, meskipun
jabatannya dan namanya dipakai oleh Notaris Pengganti.
Bahwa
menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 tahun 2006 wajib berhenti dan
berdasarkan Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 10
tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang
berpraktek atau dilarang menjalankan
tugas jabatannya sebagai Notaris/PPAT sama sekali, artinya jika
Notaris/PPAT menjadi anggota legislatif tersebut dengan memakai Notaris/PPAT
Pengganti masih dikategorikan “praktek” atau menjalankan tugas jabatannya, maka
menurut Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 10
tahun 2008 dilarang praktek, dengan kata lain Notaris/PPAT yang menduduki
jabatan negara bukan lagi harus cuti tapi harus mengundurkan diri atau berhenti
tetap sebagai Notaris/PPAT dan menyerahkan protokolnya kepada Notaris/PPAT lain
dan menurunkan papan namanya dan menutup kantornya. Maka konsekuensi hukumnya,
jika setelah melaksanakan tugas sebagai anggota legislatif dan akan kembali
praktek sebagai Notaris/PPAT, maka kepada orang yang bersangkutan akan
dikategorikan sebagai Notaris/PPAT baru yang harus menempuh prosedur
pengangkatan sebagai Notaris/PPAT baru artinya tidak diperlukan keistimewaan
apapun pada dirinya atau perlakuan khusus kepada yang bersangkutan.
Secara
normatif kedua aturan sebagaimana terurai diatas tidak sejalan, yaitu menurut
Pasal 11 ayat (1) dan (2) juncto ayat (3) – (6) UUJN cukup cuti saja, dan
setelah selesai cuti dapat mengambil kembali Surat Keputusan (SK-nya) untuk
kembali menjalani tugas sebagai Notaris, menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN
Nomor 1 Tahun 2006 wajib berhenti, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang
berpraktek. Hal tersebut membingungkan dalam penerapannya apakah harus tunduk
kepada Pasal 12 huruf l dan Pasal 50
ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008? mengingat Jabatan Notaris /PPAT
di atur dengan Undang-Undang tersendiri sebagaimana tersebut diatas. Namun mengacu
kepada Pasal 4 UUJN dan Pasal 34 ayat (1) mengenai sumpah/janji sebelum
menjalankan Jabatan Notaris/PPAT yaitu akan patuh dan setia kepada Undang-Undang
serta peraturan perundang-undangan lainnya, maka wajib dipatuhi.
Dengan
menggunakan Asas Prefensi Hukum, dalam hal ini Pasal 12 huruf l dan Pasal 50
ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 harus ditempatkan sebagai
aturan yang khusus (lex specialis), yang mengatur secara khusus mengenai
persyaratan Pejabat Umum sebagai anggota legislatif, maka Pejabat Umum yang
terpilih sebagai anggota legislatif wajib berhenti tetap atau mengundurkan diri
sebagai Pejabat Umum dan jika setelah melaksanakan tugas sebagai anggota
legislatif dan akan kembali praktek sebagai Pejabat Umum, maka kepada orang
yang bersangkutan harus menempuh prosedur pengangkatan sebagai Pejabat Umum
yang baru berdasarkan Undang-undang.
Bahwa
jika ternyata ada Pejabat Umum yang terpilih sebagai anggota legislatif tidak
mengundurkan diri dan tetap mengangkat Pejabat Umum Pengganti, maka tindakan Pejabat
Umum tersebut dikategorikan sebagai perbuatan atau tindakan diluar wewenang
atau sudah tidak mempunyai wewenang lagi karena tidak dikualifikasikan lagi
sebagai Pejabat Umum sesuai Pasal 1 angka 1 Juncto Pasal 15 UUJN dan Bab II
Pasal 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006, sehingga akta-akta yang dibuat
oleh dan atau dihadapannya tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan
bukan lagi sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang dapat
dinilai apa adanya bukan ada apanya.
Bahwa
jika ini terjadi siapa yang dirugikan? Sudah tentu masyarakatlah yang
dirugikan, dan Ikatan Notaris Indonesia (INI)/Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(IPPAT) akan dinilai sebagai organisasi yang tidak mampu menegakan aturan hukum
terebut kepada anggotanya yang mereposisi kedudukan sebagai Pejabat Umum ke
Pejabat Negara. Dan lebih fatalnya lagi, dengan demikian secara otomatis secara
keorganisasian (INI/IPPAT), bukan lagi sebagai Anggota Luar Biasa, tapi
terdegradasi kedudukannya menjadi Anggota Luar Biasa saja.
Bahwa
aturan hukum tersebut harus dijalankan sepahit apapun, sebagaimana apa adanya
bukan ada apanya, oleh karena itu Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia yang “menggawangi” para Pengurus Ikatan Notaris Indonesia
dan Pengurus Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Daerah/Wilayah/Pusat), harus secara
tegas dan turut serta mengawal dan menjalankan ketentuan Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 dan juga mengambil tindakan hukum yang tegas dan jelas kepada
yang bersangkutan, sebagai upaya mencegah terjadinya kedudukan Pejabat Umum yang
hanya sebagai jabatan sampingan yang dapat dipermainkan oleh mereka yang mereposisi
kedudukannya ke Pejabat Negara, yang suatu saat akan diambil kembali.
Bahwa
Jabatan Notaris/ PPAT adalah Jabatan yang diciptakan negara sebagai
implementasi dari Negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat, yang luhur,
terhormat dan bermartabat di negeri ini, bukankah demikian?? Bagaimana bisa
luhur, terhormat dan bermartabat, jika aturan hukum sebagaimana tersebut diatas
tidak ditaati oleh para Pejabat itu sendiri..?? Kalau terjadi – Apa kata
dunia…!!??
Komentar
Posting Komentar