Kebatalan Mutlak (absolute nietigheid) Suatu Perjanjian
A.
LATAR
BELAKANG
Ketidakpastian
hukum merupakan masalah utama di Indonesia pada zaman modern ini.
Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistematik yang mencakup
keseluruhan unsur masyarakat. Ketidakpastian hukum juga merupakan hambatan
untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil dan adil.
Ketidakpastian hukum ini banyak yang bersumber dari hukum tertulis yang tidak
jelas dan kontradiktif satu dengan
lainnya. Sebagaimana salah satu isu dalam hukum perdata yang masih mengandung
ketidakpastian konsep dan interpretasi yaitu masalah kebatalan, khususnya batal
demi hukum suatu perjanjian.
Berbicara
mengenai perjanjian, tidak terlepas dari suatu perikatan karena keduanya
mempunyai hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Suatu perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Perhubungan antara dua orang atau dua
pihak tersebut adalah suatu perhubungan hukum yang berarti bahwa hak si
berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang.[1] Sedangkan
suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[2]
Dari peristiwa
sebagaimana tersebut diatas timbul suatu hubungan antara dua orang atau dua
pihak tersebut yang dinamakan perikatan, karena dari perjanjian itu menerbitkan
suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya dalam bentuk berupa suatu
rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji yang diucapkan atau ditulis.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa suatu perikatan dan suatu perjanjian
mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena adanya suatu perikatan sebagai
akibat dari lahirnya suatu perjanjian.
Perjanjian
merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, disampingnya
sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan yaitu undang-undang. Jadi
perikatan itu lahir karena dua hal yaitu perikatan yang lahir karena perjanjian
dan perikatan yang lahir karena undang-undang.[3]
Untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :[4]
1. Sepakat
mereka yang mengikat dirinya;
2. Cakap
membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai
suatu hal tertentu;
4. Suatu
sebab yang halal.
Kebatalan
menyangkut persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian
sebagaimana tersebut diatas, yaitu, (1) Sepakat mereka mengikat dirinya; (2) Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan; (3) Suatu hal tertentu; (4) Suatu sebab yang
halal, menurut Prof. Subekti,
keempat syarat tersebut diklasifikasikan sebagai dua kategori yaitu syarat
subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif meliputi sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan
kecakapan membuat suatu perikatan. Sementara syarat obyekif meliputi suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal.[5]
Tidak
terpenuhinya syarat subyektif berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan/
dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, sedangkan tidak terpenuhinya
syarat obyektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta
merta atau perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tujuan para pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum telah
gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar bagi para pihaknya untuk saling
menuntut di depan hakim.
Batal demi hukum
selain karena tidak terpenuuhinya unsur obyektif, juga undang-undang merumuskan
secara konkrit tiap-tiap perbuatan hukum (terutama perjanjian formil) yang
mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, yang jika tidak dipenuhi, perjanjian tersebut adalah batal demi
hukum alias tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya.
Dalam buku III
KUH Perdata terdapat banyak pasal yang menyebut kata “batal, batalnya,
membatalkan, pembatalan, kebatalan, dan batal demi hukum”. Frasa “batal demi
hukum” merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna “tidak berlaku, tidak
sah menurut hukum”. Dalam pengertian umum, kata “batal” saja sudah tidak
berlaku, tidak sah.[6]
Jadi, walaupun kata “batal” sesungguhnya sudah cukup menjelaskan bahwa sesuatu
menjadi tidak berlaku atau tidak sah namun frasa “batal demi hukum” lebih
memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu dibenarkan
atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya berlaku menurut pertimbangan
subyektif seseorang atau menurut kesusilaan/ kepatutan. Batal demi hukum
berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah karena berdasarkan
hukum atau dalam arti sempit batal demi hukum berdasarkan peraturan
perundang-perundangan. Dengan demikian, batal demi hukum menunjukan bahwa tidak
berlaku atau tidak sahnya sesuatu terjadi seketika, spontan, otomatis, atau
dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau keadaan yang membuat batal demi
hukum itu terpenuhi.
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, berdasarkan sifat
kebatalannya, kebatalan dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak.[7]
Yang dimaksud dengan kebatalan mutlak dan kebatan relative, menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH
adalah suatu pembatalan mutlak (absolute
nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak
diminta oleh suatu pihak. Perjanjian seperti ini dianggap tidak pernah ada
sejak semula dan terhadap siapapun juga, sedangkan pembatalan relatif (relatief nietigheid) yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang
tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.
Sebagaimana
telah dikatakan para ahli tersebut diatas bahwa suatu perjanjian batal demi
hukum ketika unsur obyektif tidak terpenuhi, namun dalam Hukum Perdata masih
mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi yaitu masalah kebatalan,
khususnya batal demi hukum (null and void)
suatu perjanjian. Menurut R. Setiawan,
dalam bidang kebatalan terdapat ketidakpastian tentang penggunaan istilah,
misalnya undang-undang menyebutkan batal demi hukum, tetapi yang dimaksudkan
adalah dapat dibatalkan. Hal tersebut dapat dijumpai dalam Pasal 1446
KUHPerdata.[8]
Pasal 1446 berbunyi : Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang
belum dewasa, atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan
adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dan
pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau
pengampuannya.
Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh
anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal
demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan
mereka.
Selanjutnya Mr. A. Pitlo berpendapat bahwa, dalam
soal kebatalan, alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang terdapat dalam
sekian banyak variasi, dan beranekaragamnya corak alasan-alasan yang dapat
menjadi landasan kebatalan. Masalah yang muncul dalam soal kebatalan, khususnya
mengenai batal demi hukum, antara lain, pengertian, batasan, dan unsur-unsur
untuk menyatakan tidak terpenuhinya syarat obyektif, yaitu hal tertentu dan
sebab yang halal.[9]
Dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari suatu perjanjian khususnya dalam bentuk tertulis sangat
diperlukan untuk melakukan suatu perbuatan hukum antara orang dengan orang atau
orang dengan badan hukum, karena dengan perjanjian hak-hak orang dan badan
hukum yang melakukan perbuatan hukum berdasarkan perjanjian dapat terlindungi
dan memberikan kepastian hukum kepada kedua subyek hukum tersebut. Namun hukum tertulis
yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian dan tata cara pembuatan
perjanjian yang tidak jelas dan kontradiktif
satu dengan lainnya sehingga dapat menimbulkan berbagai macam penafsiran
mengenai kebetalan suatu perjanjian khususnya batal demi hukum.
Kebatalan
perjanjian khususnya batal demi hukum merupakan masalah yang serius yang perlu
dikaji secara jelas mengenai hal-hal atau akibat suatu perjanjian menjadi batal
demi hukum agar dapat memberikan kejalasan yang pasti mengenai batal demi hukum
suatu perjanjian agar terciptanya suatu kepastian, perlindungan dan kemanfaatan
bagi subyek hukum dalam suatu perjanjian dan tidak memberikan peluang
penafsiran serta tidak memberikan hambatan untuk mewujudkan perkembangan
politik, sosial dan ekonomi yang stabil dan adil.
Mengingat ketidakpastian
hukum merupakan masalah besar dan sistematik yang mencakup keseluruhan unsur
masyarakat dan juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik,
sosial dan ekonomi yang stabil dan adil yang bersumber dari hukum tertulis yang
tidak jelas dan kontradiktif satu dengan
lainnya, maka perlu melakukan suatu analisis hukum mengenai kebatalan suatu
perjanjian khususnya batal demi hukum, yang diharapkan dapat mempertegas
kembali kaidah atau norma tentang persoalan kebatalan dalam perjanjian, sesuai
dengan hukum tertulis yaitu KUH Perdata yang diperkuat dengan pendapat para
ahli dalam bidang Hukum Perdata.
B.
Rumusan
Masalah
Mengacu pada
uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi fokus analisis dalam makalah
ini adalah bagaiamana hal atau kondisi yang menyebabkan suatu perjanjian batal
demi hukum?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah, untuk menyatakan atau
mempertegas kembali kaidah atau norma tentang persoalan kebatalan dalam
perjanjian khususnya batal demi hukum, yang diharapkan dapat memberikan
kejalasan yang pasti mengenai batal demi hukum suatu perjanjian.
D.
Metode
Penulisan
1.
Metode
Pustaka
Metode
yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka-pustaka
yang berhubungan dengan alat, baik buku maupun informasi dari internet.
2.
Sumber
Bahan Hukum
2.1. Bahan Hukum Primer
Bahan
hukum yang terdiri dari aturan hukum positif yang diurut berdasarkan hirarki,
mulai dari UUD 45 sampai pada aturan-aturan lain dibawahnya.
2.2.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer, sehingga dapat membantu mendeskripsikan dan
menganalisa guna memahami bahan hukum primer, yang dalam analisa ini diperoleh
dari buku, makalah dan artikel.
E.
Pembahasan
Dalam konteks
Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUH Perdata, terdapat beberapa alasan untuk
membatalkan perjanjian khususnya batal demi hukum. Adapaun alasan itu dapat
dikategorikan sebagai berikut :
a. Tidak
terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis
perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum.
b. Tidak
terpenuhinya syarat sahnya perjanjian.
c. Batal
demi hukum karena dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan
hukum
d. Terpenuhinya
syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat
Sebagaimana sebelumnya telah dijabarkan bahwa
apabila perjanjian batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Serta
tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan
perikatan hukum, telah gagal sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di
muka hakim. Berikut ini adalah alasan mengapa suatu perjanjian menjadi batal
demi hukum.
a.
Batal
demi hukum karena syarat perjanjian formil tidak terpenuhi.
Pada
perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak dipenuhinya
ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuat
perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui
peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian batal demi hukum. Ahli hukum
memberikan pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya
didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga
disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian
tersebut sah demi hukum.[10]
Formalitas tertentu misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus
dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik atau akta dibawah
tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh notaris atau
pejabat hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik menurut
undang-undang.
Beberapa
contoh perjanjian di bidang hukum kekayaan yang harus dilakukan dengan Akta
Notaris sebagai berikut.[11]
·
Hibah, kecuali pemberian benda bergerak
yang bertubuh atau surat penagihan hutang atau surat penagihan hutang atas
tunjuk dari tangan ke tangan : Pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata.
·
Pendirian perseroan terbatas : Pasal 7
butir 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
·
Jaminan fidusia : Pasal 5 butir 1
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
·
Perjanjian penyelesaian sengketa melalui
arbitrase setelah sengketa terjadi : Pasal 9 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
·
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT): Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. SKMHT
dapat dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menurut Pasal 15
(ayat (1) Undang-Undang tersebut.
Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas
tertentu yang harus dipenuhi untuk perjanjian formil diatas, memang
pengecualian dari asas konsensualisme dalam hukum perjanjian yang berlaku secara
umum.[12]
Sebab, menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk dengan
adanya kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian, agar perjanjian
itu sah adanya maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada
formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi. Jadi
perjanjian formil memang tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas
konsensualisme.
Terhadap asas konsensualisme yang dikandung oleh
Pasal 1320 KHU Perdata, ada pengecualiannya, yaitu oleh undang-undang telah
ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya untuk
perjanjian penghibahan benda tak bergerak, dimana harus dilakukan dengan akta
Notaris. selanjutnya perjanjian perdamaian, harus dibuat secara tertulis, dan
sebagainya. Perjanjian-perjanjian tersebut dinamakan perjanjian “Formil”, dan
apabila perjanjian yang itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh
undang-undang maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum.[13]
Tujuan pembuat undang-undang dengan membuat
pengecualian diatas adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak
lemah, terhadap dirinya sendiri, atau terhadap pihak lawan, satu dan lain
dengan mengingat sifat terbukanya perjanjian. Singkat kata, tujuannya adalah
memberikan jaminan kepastian hukum dan keseimbangan dalam lalu lintas pergaulan
hukum.
Sebagaimana tersebut diatas beberapa perjanjian
formil yang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris adalah syarat mutlak bagi
keabsahan pembuatan hukum yang bersangkutan. Sementara untuk perjanjian yang
tidak digolongkan pada perjanjian formil, fungsi akta adalah sekedar sebagai
alat bukti.
Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam
bentuk formal tertentu yang diwajibkan oleh undang-undang tidak dipatuhi, akan
berikbat bahwa perbuatan tersebut batal demi hukum.[14]
Hal ini ditegaskan antara lain, dalam :
1)
Pasal
617 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap akta dengan mana kebendaan
tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau dipindahtangankan,
harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman kebatalan”.
2)
Pasal
1682 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan
dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan status
akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu”
3)
Pasal
22 KUHDagang yang menyebut “Tiap firma harus didirikan dengan akta otentik,
tetapi ketiadaan akta tidak dapat dikemukakan untuk merugikan pihak ketiga”
4)
Pasal
15 ayat (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah, menyebutkan bahwa “(6) Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum”.
5)
Pasal
9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa: “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa
melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut
harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para
pihak. (2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis
debagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat
dalam bentuk akta notaris. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus memuat: (a) masalah yang dipersengketakan; (b) nama lengkap dan
tempat tinggal para pihak; (c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau
majelis arbitrase; (d) tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil
keputusan; (e) nama lengkap sekretaris; (f) jangka waktu penyelesaian sengketa;
(g) pernyataan kesediaan dari arbiter; (h) pernyataan kesediaan dari para pihak
yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian
sengketa melalui arbitrase. (4) perjanjian tertulis yang tidak memuat hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.
b.
Batal
Demi Hukum Karena Syarat Obyektif Sahnya Perjanjian Tidak Terpenuhi
Menurut
Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal
tertentu dan sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat obyektif
untuk sahnya perjanjian. Syarat obyektif pertama yaitu suatu hal tertentu
diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman[15]
dan Herlin Boediono[16]
sebagai obyek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak kreditur dan
kewajiban bagi debitur menurut Subekti.[17]
Obyek perjanjian berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan
1334 ayat (1).[18]
Pasal 1332 “Hanya
barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan”.
Pasal 1333 “Suatu persetujuan harus mempunyai
pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya.
Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau dihitung”.
Pasal 1334 “Barang
yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu
persetujuan”.
Berdasarkan Pasal 1332 dan Pasal 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa
untuk sahnya perjanjian maka obyeknya harus tertentu, atau setidaknya cukup
dapat ditentukan. Obyek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:[19]
1) Dapat
diperdagangkan;
2) Dapat
ditentukan jenisnya;
3) Dapat
dinilai dengan uang;
4) Memungkinkan
untuk dilakukan/dilaksanakan.
Selain itu obyek
perjanjian dapat juga berupa barang yang baru aka nada, sebagaimana disebut
dalam pasal 1334 ayat (1). Maksudnya adalah ketika perjanjian dibuat barang
yang diperjanjikan itu belum ada sebab mungkin belum dibuat atau sedang dalam
proses pembuatan, dan bukan berarti bahwa barang tersebut tidak akan ada.
Perjanjian
yang obyeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak
dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak
mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa obyek yang jelas,
perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak.
perjanjian yang tidak jelas obyeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga
batal demi hukum.
Syarat
obyektif kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab atau kausa yang
halal. Dalam KUH Perdata, tidak ada penjelasan tentang makna sebab yang halal
itu, tetapi para ahli hukum sepakat memaknainya sebagai isi atau dasar
perjanjian,[20]
bukan sebagai penyebab atau motif dibuatnya perjanjian.[21]
Perjanjian yang dibuat tanpa adanya sebab yang halal maka perjanjian tersebut
tidak sah, tidak berkekuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH
Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian
tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
Kausa
suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal sehingga
terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUH Perdata merupaka kausa
yang “dilarang oleh undang-undang atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum”.
Perjanjian seperti ini tidak boleh atau tidak dapat dilaksanakan sebab
melanggar hukum atau kesusilaan atau ketertiban umum. Kondisi semacam itu
menurut Subekti, sudah sangat jelas dapat diketahui seketika oleh hakim dan
juga oleh umum sehingga untuk alasan ketertiban dan keamanan umum maka
perjanjian semacam itu dengan sendirinya batal demi hukum.[22]
c.
Batal
Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang Melakukan Perbuatan
Hukum
Ketidakcakapan seseorang untuk melakukan
tindakan hukum harus dibedakan dengan ketidak kewenangan seseorang untuk
melakukan tindakan hukum. Mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum
adalah orang-orang yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.[23]
Jadi, seorang yang oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang
melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa juga tidak cakap. Dengan
kata lain, orang yang menurut undang-undang adalah cakap atau mampu melakukan
tindakan hukum, ternyata dapat tergolong sebagai tidak berwenang melakukan
tindakan hukum tertentu menurut undang-undang.
Perjanjian yang dilakukan oleh orang
atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat
batal demi hukum. Artinya ketentuan dalam undang-undang tertentu yang
menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan
hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak dapat disimpangi. Orang atau pihak
tersebut adalah mereka yang karena jabatan atau pekerjaannya, berdasarkan
undang-undang tertentu, dikategorikan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
tertentu.
Dapat pula terjadi seseorang menyatakan
tidak berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu karena menurut
undang-undang, orang tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan
tertentu. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia, Pasal 55 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 56 ayat (1) dan (2).
d.
Batal
Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi
Syarat batal dalam suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di
masa depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa
atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal.
Syarat batal ini merupakan kebalikan dari syarat tangguh, yang apabila apabila
syarat atau fakta yang belum terjadi di masa depan itu benar terjadi adanya
maka justru membuat lahirnya perjanjian yang bersangkutan. Ketentuan yang kedua
syarat ini diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata yang menyebut bahwa “suatu
perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin
terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya
perikatanitu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan
perikatan itu, tergantung pada tidaknya peristiwa itu”.
Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya
semata-mata digantungkan pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut
Pasal 1256 KUH Perdataadalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUH Perdata menegaskan
bahwa “semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung
pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika suatu perikatan tergantung pada
suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan
perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan adalah sah”. Alasan dari ketentuan
tersebut masuk akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian
semata-mata hanya pada kehendak atau kemauan seseorang merupakan hal anehkalau
tak dapat disebut sia-sia, sebab perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila
orang itu tidak menghendakinya.
Demikian pula bila perjanjian memuat
syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang
bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau bahkan dilarang oleh
undang-undang adalah batal demi hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1254
KUH Perdata.
Perjanjian yang dengan syarat batal yang
menjadi batal demi hukum karena syarat tersebut tidak terpenuhi, menimbulkan
akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan
itu, atau dengan kata lain perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku
surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah
pihak yang telah menerima prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1265 KUH Perdata.
F.
KESIMPULAN
Mengacu pada
pembahasan rumusan masalah diatas yaitu mengenai, bagaiamana hal atau kondisi
yang menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum, maka kesimpulan yang dapat
diambil dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
Batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan dengan demikian tidak pernah ada suatu
perikatan. Serta tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni
melahirkan perikatan hukum, telah gagal sehingga tidak ada dasar untuk saling
menuntut di muka hakim. Hal atau kondisi yang menyebabkan suatu perjanjian
batal demi hukum adalah Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh
undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal
demi hukum, tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, batal demi hukum
karena dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum dan terpenuhinya
syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat.
[1] Subekti, Hukum Perjanjian,
Cetakan ke-11, Intermasa, Jakarta, 1987, hlm. 1
[2] Ibit,
[3] Ibit.
[4] Ibit, hlm. 17
[5] Subekti, Hukum Perjanjian,
Cetakan ke-17, Intermasa, Jakarta, 1998.
[6]
Arti lema atau kata “batal” dalam Bahasa Indonesia adalah tidak jadi
dilangsungkan, ditunda, urung, tidak berhasil, gagal. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Keempat, Gramedia Pustaka Utama, 2008.
[7] Kartini Muljadi dan Gunawan
Widjaja, Seri Hukum Perikatan
(Perikatan Pada Umumnya), Cetakan ke-2, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.
142.
[10] Subekti, Hukum Perjanjian,
Cetakan ke-5, Intermasa, Jakarta, 1978, hlm 19
[11] Herlien Budiono, Ajaran Umum
hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya
Bakti, bandung, 2009, hlm. 47-48; Subekti, Hukum
Perjanjian, Cetakan ke-5, hlm. 15.
[12] Subekti, ibit.
[14] Subekti, ibit ; Herlien Budiono, ibit.
[15] Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi
Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 79-80.
[16] Herlien Budiono, op.cit,
hlm. 106-110.
[17] Subekti, Hukum Perjanjian,
Cetakan ke-5, hlm. 18
[18] Istilah barang dalam ketiga
pasal tersebut harus ditafsirkan secara ekstensif sehingga mencakup sehingga
mencakup pengertian obyek perjanjian yang prestasinya adalah untuk melakukan
sesuatu, dengan demikian dapat mencakup pengertian jasa juga. Hal ini penting
karena dalam transaksi bisnis modern, obyek perjanjian tidak hanya terbatas
pada barang, tetapi juga berupa jasa.
[19] Herlien Budiono, op.cit,
hlm. 107.
[20] Subekti, Hukum Perjanjian,
Cetakan ke-5, hlm. 18 dan Herlien
Budiono, op.cit, hlm. 113.
[22] Subekti, ibit, hlm. 19
[23] Herlien Budiono, op.cit,
hlm. 105.
Komentar
Posting Komentar