Kebatalan Mutlak (absolute nietigheid) Suatu Perjanjian



A.    LATAR BELAKANG
Ketidakpastian hukum merupakan masalah utama di Indonesia pada zaman modern ini. Ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistematik yang mencakup keseluruhan unsur masyarakat. Ketidakpastian hukum juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil dan adil. Ketidakpastian hukum ini banyak yang bersumber dari hukum tertulis yang tidak jelas dan kontradiktif  satu dengan lainnya. Sebagaimana salah satu isu dalam hukum perdata yang masih mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi yaitu masalah kebatalan, khususnya batal demi hukum suatu perjanjian.
Berbicara mengenai perjanjian, tidak terlepas dari suatu perikatan karena keduanya mempunyai hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut adalah suatu perhubungan hukum yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang.[1] Sedangkan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[2]
Dari peristiwa sebagaimana tersebut diatas timbul suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan, karena dari perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya dalam bentuk berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji yang diucapkan atau ditulis. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa suatu perikatan dan suatu perjanjian mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, karena adanya suatu perikatan sebagai akibat dari lahirnya suatu perjanjian.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, disampingnya sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan yaitu undang-undang. Jadi perikatan itu lahir karena dua hal yaitu perikatan yang lahir karena perjanjian dan perikatan yang lahir karena undang-undang.[3]
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :[4]
1.      Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2.      Cakap membuat suatu perjanjian;
3.      Mengenai suatu hal tertentu;
4.      Suatu sebab yang halal.
Kebatalan menyangkut persoalan tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana tersebut diatas, yaitu, (1) Sepakat mereka mengikat dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) Suatu hal tertentu; (4) Suatu sebab yang halal, menurut Prof. Subekti, keempat syarat tersebut diklasifikasikan sebagai dua kategori yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif meliputi  sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan membuat suatu perikatan. Sementara syarat obyekif meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.[5]
Tidak terpenuhinya syarat subyektif berakibat suatu perjanjian dapat dibatalkan/ dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta merta atau perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum telah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar bagi para pihaknya untuk saling menuntut di depan hakim.
Batal demi hukum selain karena tidak terpenuuhinya unsur obyektif, juga undang-undang merumuskan secara konkrit tiap-tiap perbuatan hukum (terutama perjanjian formil) yang mensyaratkan dibentuknya perjanjian dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang jika tidak dipenuhi, perjanjian tersebut adalah batal demi hukum alias tidak memiliki kekuatan dalam pelaksanaannya.
Dalam buku III KUH Perdata terdapat banyak pasal yang menyebut kata “batal, batalnya, membatalkan, pembatalan, kebatalan, dan batal demi hukum”. Frasa “batal demi hukum” merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna “tidak berlaku, tidak sah menurut hukum”. Dalam pengertian umum, kata “batal” saja sudah tidak berlaku, tidak sah.[6] Jadi, walaupun kata “batal” sesungguhnya sudah cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah namun frasa “batal demi hukum” lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya berlaku menurut pertimbangan subyektif seseorang atau menurut kesusilaan/ kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah karena berdasarkan hukum atau dalam arti sempit batal demi hukum berdasarkan peraturan perundang-perundangan. Dengan demikian, batal demi hukum menunjukan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.
Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, berdasarkan sifat kebatalannya, kebatalan dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak.[7] Yang dimaksud dengan kebatalan mutlak dan kebatan relative, menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH adalah suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Perjanjian seperti ini dianggap tidak pernah ada sejak semula dan terhadap siapapun juga, sedangkan pembatalan relatif (relatief nietigheid) yaitu  hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.
Sebagaimana telah dikatakan para ahli tersebut diatas bahwa suatu perjanjian batal demi hukum ketika unsur obyektif tidak terpenuhi, namun dalam Hukum Perdata masih mengandung ketidakpastian konsep dan interpretasi yaitu masalah kebatalan, khususnya batal demi hukum (null and void) suatu perjanjian. Menurut R. Setiawan, dalam bidang kebatalan terdapat ketidakpastian tentang penggunaan istilah, misalnya undang-undang menyebutkan batal demi hukum, tetapi yang dimaksudkan adalah dapat dibatalkan. Hal tersebut dapat dijumpai dalam Pasal 1446 KUHPerdata.[8]
Pasal 1446 berbunyi : Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada di  bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya.
Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka.
 Selanjutnya Mr. A. Pitlo berpendapat bahwa, dalam soal kebatalan, alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang terdapat dalam sekian banyak variasi, dan beranekaragamnya corak alasan-alasan yang dapat menjadi landasan kebatalan. Masalah yang muncul dalam soal kebatalan, khususnya mengenai batal demi hukum, antara lain, pengertian, batasan, dan unsur-unsur untuk menyatakan tidak terpenuhinya syarat obyektif, yaitu hal tertentu dan sebab yang halal.[9]
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari suatu perjanjian khususnya dalam bentuk tertulis sangat diperlukan untuk melakukan suatu perbuatan hukum antara orang dengan orang atau orang dengan badan hukum, karena dengan perjanjian hak-hak orang dan badan hukum yang melakukan perbuatan hukum berdasarkan perjanjian dapat terlindungi dan memberikan kepastian hukum kepada kedua subyek hukum tersebut. Namun hukum tertulis yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian dan tata cara pembuatan perjanjian yang tidak jelas dan kontradiktif  satu dengan lainnya sehingga dapat menimbulkan berbagai macam penafsiran mengenai kebetalan suatu perjanjian khususnya batal demi hukum.
Kebatalan perjanjian khususnya batal demi hukum merupakan masalah yang serius yang perlu dikaji secara jelas mengenai hal-hal atau akibat suatu perjanjian menjadi batal demi hukum agar dapat memberikan kejalasan yang pasti mengenai batal demi hukum suatu perjanjian agar terciptanya suatu kepastian, perlindungan dan kemanfaatan bagi subyek hukum dalam suatu perjanjian dan tidak memberikan peluang penafsiran serta tidak memberikan hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil dan adil.
 Mengingat ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistematik yang mencakup keseluruhan unsur masyarakat dan juga merupakan hambatan untuk mewujudkan perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil dan adil yang bersumber dari hukum tertulis yang tidak jelas dan kontradiktif  satu dengan lainnya, maka perlu melakukan suatu analisis hukum mengenai kebatalan suatu perjanjian khususnya batal demi hukum, yang diharapkan dapat mempertegas kembali kaidah atau norma tentang persoalan kebatalan dalam perjanjian, sesuai dengan hukum tertulis yaitu KUH Perdata yang diperkuat dengan pendapat para ahli dalam bidang Hukum Perdata. 
B.     Rumusan Masalah
Mengacu pada uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi fokus analisis dalam makalah ini adalah bagaiamana hal atau kondisi yang menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum?
C.    Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah, untuk menyatakan atau mempertegas kembali kaidah atau norma tentang persoalan kebatalan dalam perjanjian khususnya batal demi hukum, yang diharapkan dapat memberikan kejalasan yang pasti mengenai batal demi hukum suatu perjanjian.
D.    Metode Penulisan
1.      Metode Pustaka
Metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka-pustaka yang berhubungan dengan alat, baik buku maupun informasi dari internet.
2.      Sumber Bahan Hukum
              2.1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum positif yang diurut berdasarkan hirarki, mulai dari UUD 45 sampai pada aturan-aturan lain dibawahnya.
2.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, sehingga dapat membantu mendeskripsikan dan menganalisa guna memahami bahan hukum primer, yang dalam analisa ini diperoleh dari buku, makalah dan artikel. 
E.     Pembahasan
Dalam konteks Hukum Perjanjian Indonesia menurut KUH Perdata, terdapat beberapa alasan untuk membatalkan perjanjian khususnya batal demi hukum. Adapaun alasan itu dapat dikategorikan sebagai berikut :
a.       Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum.
b.      Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian.
c.       Batal demi hukum karena dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
d.      Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat
Sebagaimana sebelumnya telah dijabarkan bahwa apabila perjanjian batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Serta tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. Berikut ini adalah alasan mengapa suatu perjanjian menjadi batal demi hukum.
a.      Batal demi hukum karena syarat perjanjian formil tidak terpenuhi.
Pada perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil, tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuat perjanjian, ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian batal demi hukum. Ahli hukum memberikan pengertian perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum.[10] Formalitas tertentu misalnya tentang bentuk atau format perjanjian yang harus dibuat dalam bentuk tertentu, yakni dengan akta otentik atau akta dibawah tangan. Akta otentik yang dimaksud adalah akta yang dibuat oleh notaris atau pejabat hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik menurut undang-undang.
Beberapa contoh perjanjian di bidang hukum kekayaan yang harus dilakukan dengan Akta Notaris sebagai berikut.[11]
·         Hibah, kecuali pemberian benda bergerak yang bertubuh atau surat penagihan hutang atau surat penagihan hutang atas tunjuk dari tangan ke tangan : Pasal 1682 dan 1687 KUH Perdata.
·         Pendirian perseroan terbatas : Pasal 7 butir 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
·         Jaminan fidusia : Pasal 5 butir 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
·         Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi : Pasal 9 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
·         Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT): Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. SKMHT dapat dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menurut Pasal 15 (ayat (1) Undang-Undang tersebut.

Pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus dipenuhi untuk perjanjian formil diatas, memang pengecualian dari asas konsensualisme dalam hukum perjanjian yang berlaku secara umum.[12] Sebab, menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian sudah terbentuk dengan adanya kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. Kemudian, agar perjanjian itu sah adanya maka harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun, asas tersebut tidak cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi. Jadi perjanjian formil memang tidak cukup bila hanya berdasarkan pada asas konsensualisme.
Terhadap asas konsensualisme yang dikandung oleh Pasal 1320 KHU Perdata, ada pengecualiannya, yaitu oleh undang-undang telah ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya untuk perjanjian penghibahan benda tak bergerak, dimana harus dilakukan dengan akta Notaris. selanjutnya perjanjian perdamaian, harus dibuat secara tertulis, dan sebagainya. Perjanjian-perjanjian tersebut dinamakan perjanjian “Formil”, dan apabila perjanjian yang itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum.[13]
Tujuan pembuat undang-undang dengan membuat pengecualian diatas adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak lemah, terhadap dirinya sendiri, atau terhadap pihak lawan, satu dan lain dengan mengingat sifat terbukanya perjanjian. Singkat kata, tujuannya adalah memberikan jaminan kepastian hukum dan keseimbangan dalam lalu lintas pergaulan hukum.
Sebagaimana tersebut diatas beberapa perjanjian formil yang harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris adalah syarat mutlak bagi keabsahan pembuatan hukum yang bersangkutan. Sementara untuk perjanjian yang tidak digolongkan pada perjanjian formil, fungsi akta adalah sekedar sebagai alat bukti.
Apabila perbuatan hukum yang wajib dilakukan dalam bentuk formal tertentu yang diwajibkan oleh undang-undang tidak dipatuhi, akan berikbat bahwa perbuatan tersebut batal demi hukum.[14] Hal ini ditegaskan antara lain, dalam :
1)      Pasal 617 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap akta dengan mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani, atau dipindahtangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman kebatalan”.
2)      Pasal 1682 KUH Perdata yang berbunyi “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan status akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris itu”
3)      Pasal 22 KUHDagang yang menyebut “Tiap firma harus didirikan dengan akta otentik, tetapi ketiadaan akta tidak dapat dikemukakan untuk merugikan pihak ketiga”
4)      Pasal 15 ayat (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah, menyebutkan bahwa “(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum”.
5)      Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: “(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. (2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis debagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat: (a) masalah yang dipersengketakan; (b) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; (c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; (d) tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan; (e) nama lengkap sekretaris; (f) jangka waktu penyelesaian sengketa; (g) pernyataan kesediaan dari arbiter; (h) pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. (4) perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

b.      Batal Demi Hukum Karena Syarat Obyektif Sahnya Perjanjian Tidak Terpenuhi
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Keduanya sering disebut sebagai syarat obyektif untuk sahnya perjanjian. Syarat obyektif pertama yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman[15] dan Herlin Boediono[16] sebagai obyek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban bagi debitur menurut Subekti.[17] Obyek perjanjian berupa barang, sebagaimana disebut dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 ayat (1).[18]
Pasal 1332 “Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok persetujuan”.
 Pasal 1333 “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya  ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Pasal 1334 “Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan”.
Berdasarkan Pasal 1332 dan Pasal 1333 KUH Perdata, jelaslah bahwa untuk sahnya perjanjian maka obyeknya harus tertentu, atau setidaknya cukup dapat ditentukan. Obyek perjanjian tersebut dengan demikian haruslah:[19]
1)      Dapat diperdagangkan;
2)      Dapat ditentukan jenisnya;
3)      Dapat dinilai dengan uang;
4)      Memungkinkan untuk dilakukan/dilaksanakan.
Selain itu obyek perjanjian dapat juga berupa barang yang baru aka nada, sebagaimana disebut dalam pasal 1334 ayat (1). Maksudnya adalah ketika perjanjian dibuat barang yang diperjanjikan itu belum ada sebab mungkin belum dibuat atau sedang dalam proses pembuatan, dan bukan berarti bahwa barang tersebut tidak akan ada.
Perjanjian yang obyeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dapat dilakukan, menjadi batal demi hukum. Tanpa obyek yang jelas, perjanjian akan sulit atau bahkan mustahil dilakukan oleh para pihak. perjanjian yang tidak jelas obyeknya bukanlah perjanjian yang sah sehingga batal demi hukum.
Syarat obyektif kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab atau kausa yang halal. Dalam KUH Perdata, tidak ada penjelasan tentang makna sebab yang halal itu, tetapi para ahli hukum sepakat memaknainya sebagai isi atau dasar perjanjian,[20] bukan sebagai penyebab atau motif dibuatnya perjanjian.[21] Perjanjian yang dibuat tanpa adanya sebab yang halal maka perjanjian tersebut tidak sah, tidak berkekuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
Kausa suatu perjanjian dinyatakan bukan merupakan sebab yang halal sehingga terlarang, apabila kausa tersebut menurut Pasal 1337 KUH Perdata merupaka kausa yang “dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum”. Perjanjian seperti ini tidak boleh atau tidak dapat dilaksanakan sebab melanggar hukum atau kesusilaan atau ketertiban umum. Kondisi semacam itu menurut Subekti, sudah sangat jelas dapat diketahui seketika oleh hakim dan juga oleh umum sehingga untuk alasan ketertiban dan keamanan umum maka perjanjian semacam itu dengan sendirinya batal demi hukum.[22]
c.       Batal Demi Hukum Karena Dibuat oleh Orang yang Tidak Berwenang Melakukan Perbuatan Hukum
Ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum harus dibedakan dengan ketidak kewenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum. Mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang oleh undang-undang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu.[23] Jadi, seorang yang oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa juga tidak cakap. Dengan kata lain, orang yang menurut undang-undang adalah cakap atau mampu melakukan tindakan hukum, ternyata dapat tergolong sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu menurut undang-undang.
Perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum. Artinya ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak dapat disimpangi. Orang atau pihak tersebut adalah mereka yang karena jabatan atau pekerjaannya, berdasarkan undang-undang tertentu, dikategorikan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu.
Dapat pula terjadi seseorang menyatakan tidak berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu karena menurut undang-undang, orang tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan tertentu. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 55 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 56 ayat (1) dan (2).
d.      Batal Demi Hukum Karena Ada Syarat Batal yang Terpenuhi
Syarat batal dalam suatu perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan dari syarat tangguh, yang apabila apabila syarat atau fakta yang belum terjadi di masa depan itu benar terjadi adanya maka justru membuat lahirnya perjanjian yang bersangkutan. Ketentuan yang kedua syarat ini diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata yang menyebut bahwa “suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatanitu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada tidaknya peristiwa itu”.
Perjanjian bersyarat yang pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kemauan orang yang membuat perjanjian itu menurut Pasal 1256 KUH Perdataadalah batal demi hukum. Pasal 1256 KUH Perdata menegaskan bahwa “semua perikatan adalah batal, jika pelaksanaannya semata-mata tergantung pada kemauan orang yang terikat. Tetapi jika suatu perikatan tergantung pada suatu perbuatan yang pelaksanaannya berada dalam kekuasaan orang tersebut, dan perbuatan itu telah terjadi, maka perikatan adalah sah”. Alasan dari ketentuan tersebut masuk akal mengingat bahwa mengharapkan terjadinya suatu perjanjian semata-mata hanya pada kehendak atau kemauan seseorang merupakan hal anehkalau tak dapat disebut sia-sia, sebab perjanjian seperti itu tidak akan terjadi bila orang itu tidak menghendakinya.
Demikian pula bila perjanjian memuat syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, atau yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau bahkan dilarang oleh undang-undang adalah batal demi hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1254 KUH Perdata.
Perjanjian yang dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat tersebut tidak terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu, atau dengan kata lain perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1265 KUH Perdata. 
F.     KESIMPULAN
Mengacu pada pembahasan rumusan masalah diatas yaitu mengenai, bagaiamana hal atau kondisi yang menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
Batal demi hukum artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Serta tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. Hal atau kondisi yang menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum adalah Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum, tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, batal demi hukum karena dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum dan terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat.



[1] Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-11, Intermasa, Jakarta, 1987, hlm. 1
[2] Ibit,
[3] Ibit.
[4] Ibit, hlm. 17
[5] Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-17, Intermasa, Jakarta, 1998.
[6]  Arti lema atau kata “batal” dalam Bahasa Indonesia adalah tidak jadi dilangsungkan, ditunda, urung, tidak berhasil, gagal. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, 2008.
[7] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Cetakan ke-2, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 142.
[8] www.google.com diaskes pada tanggal 19 Oktober 2012, pukul 00.30 WIB
[9] www.google.com diaskes pada tanggal 19 Oktober 2012, pukul 01.12 WIB
[10] Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-5, Intermasa, Jakarta, 1978, hlm 19
[11] Herlien Budiono, Ajaran Umum hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, bandung, 2009, hlm. 47-48; Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-5, hlm. 15.
[12] Subekti, ibit.
[13] Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-5, hlm. 
[14] Subekti, ibit ; Herlien Budiono, ibit.
[15] Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 79-80.
[16] Herlien Budiono, op.cit, hlm. 106-110.
[17] Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-5, hlm. 18
[18] Istilah barang dalam ketiga pasal tersebut harus ditafsirkan secara ekstensif sehingga mencakup sehingga mencakup pengertian obyek perjanjian yang prestasinya adalah untuk melakukan sesuatu, dengan demikian dapat mencakup pengertian jasa juga. Hal ini penting karena dalam transaksi bisnis modern, obyek perjanjian tidak hanya terbatas pada barang, tetapi juga berupa jasa.
[19] Herlien Budiono, op.cit, hlm. 107.
[20] Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-5, hlm. 18 dan Herlien Budiono, op.cit, hlm. 113.
[21] Subekti, ibitMariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm. 81.
[22] Subekti, ibit, hlm. 19
[23] Herlien Budiono, op.cit, hlm. 105.

Komentar