KEWAJIBAN NOTARIS DALAM MEMBERIKAN, MEMPERLIHATKAN, ATAU MEMBERITAHUKAN ISI AKTA, GROSSE AKTA, SALINAN AKTA ATAU KUTIPAN AKTA KEPADA ORANG YANG BERKEPENTINGAN ATAU ORANG YANG MEMPEROLEH HAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF POLITIK HUKUM KENOTARIATAN
1. Latar
Belakang
Jabatan merupakan subyek hukum (persoon) yakni pendukung hak dan
kewajiban (suatu personifikasi). Oleh
hukum Tatanegara kekuasaan tidak diberikan kepada Pejabat (orang), tetapi
diberikan kepada Jabatan (lingkungan pekerjaan).[1] Notaris merupakan suatu
Jabatan (subyek hukum), sebagaimana ditentukan dalam konsiderans Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Sebagai subyek hukum, Jabatan
Notaris dapat menjamin continueted
hak dan kewajiban artinya pejabat yang menduduki jabatan Notaris selalu
berganti-ganti sedangkan Jabatan tetap berjalan terus-menerus (continue)[2]. yang sengaja diadakan
oleh Negara dalam sistim hukum Indonesia yang merupakan suatu lingkungan
pekerjaan tetap dan berkesinambungan.
Jabatan merupakan suatu bidang
pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan
fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan
pekerjaan tetap.[3]
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka
dibutuhkan penguasa atau organ sehingga dapat dikonsepkan sebagai hubungan
jabatan-jabatan, dimana jabatan-jabatan itu di isi oleh pejabat-pejabat yang
mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi sebyek-kewajiban.
Pejabat dapat diartikan sebagai pegawai pemerintah yang memegang jabatan (unsur
pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan.[4]
Pejabat yang dimaksudkan disini adalah
Pejabat Umum yaitu Notaris yang diberi kewenangan menjalankan sebagian tugas
negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya dalam bidang
Hukum Perdata. Hal ini tidak bisa disamakan dengan Pejabat Pegawai Negeri
Sipil, dimana pegawai yang merupakan bagian dari
suatu korps pegawai yang tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang
digaji oleh pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu “Notaris
adalah pejabat pemerintah tanpa diberi gaji oleh pemerintah, Notaris
dipensiunkan oleh pemerintah tanpa mendapat uang pensiun dari pemerintah”.
Notaris sebagai Pejabat Umum tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang
Jabatan Notaris/UUJN) merupakan Undang-Undang yang mengatur secara khusus
tentang kedudukan, kewenangan, kewajiban dan larangan sebagai pejabat umum yang
menyatakan secara tegas dan jelas bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik.
Jabatan Umum Notaris dibentuk tidak
lain dan tidak bukan adalah kehendak dari Negara dan melalui aturan hukum untuk
melayani masyarakat dalam memberikan kepastian hukum khususnya dalam bidang
Hukum Perdata yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.
Sehingga Jabatan Notaris merupakan salah satu organ negara atau alat
perlengkapan negara yang menjalankan sebagian fungsi Negara dalam melayani
masyarakat umum dengan kewenangan yang ada padanya. Menurut sistem Hukum
Indonesia, Notaris adalah salah satu organ dan/atau alat perlengkapan Negara
yang mempunyai kewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menyebutkan bahwa Notaris adalah Organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan
Hukum untuk memberikan pelayanan umum kepada masyarakat umum khusus dalam
pembuatan Akta Otentik sebagai alat bukti yang sempurna berkenaan dengan
perbuatan Hukum dibidang keperdataan saja.[5]
Adapun Jabatan
Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan mereka yang
menjalankan tugas jabatan Notaris sebagai orang yang dapat dipercaya bukan
sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, sehingga hal tersebut, antara Jabatan
Notaris dan Pejabatnya harus sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan.[6]
Sebagai
jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan mereka yang menjalankan tugas
jabatan Notaris, maka orang yang menjalankan jabatan tersebut dengan standar
konformitas hukum yang diberikan kepadanya harus dapat dipercaya.
Kewenangan Notaris yaitu membuat akta Otentik sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 15 yaitu Notaris berwenang
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta, semua itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Ruang lingkup
tugas pelaksanaan jabatan Notaris yaitu membuat alat bukti yang diinginkan oleh
para pihak untuk suatu tindakan tertentu, dan alat bukti tersebut berada dalam
tataran hukum perdata dan Notaris membuat akta karena ada permintaan dari para
pihak yang menghadap, tanpa ada permintaan dari para pihak, Notaris tidak akan
membuat akta apapun, dan Notaris membuat akta yang dimaksud berdasarkan alat
bukti atau keterangan atau pernyataan penghadap/para pihak yang dinyatakan atau
diterangkan atau diperlihatkan kepada atau dihadapan Notaris, dan selanjutnya
Notaris membingkai secara lahiriah, formil dan materil dalam bentuk akta
Notaris, dengan tetap berpijak pada aturan hukum dan tata cara atau prosedur
pembuatan akta dan aturan hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum yang
bersangkutan yang dituangkan dalam akta.[7]
Akta
otentik merupakan alat bukti yang terkuat dan terpenuh mempunyai peranan
penting dalam setiap hubungan hukum setiap individu sebagai subyek hukum dalam
masyarakat, dalam berbagai hubungan
bisnis, kegiatan perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain. Akta
otentik, menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR Jo Pasal 265 RBG Jo Pasal 1868 KUHPerdata
merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, para ahli warisnya dan
orang yang mendapat hak darinya.[8]
Pada hakikatnya akta Notaris memuat
kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada
Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang
termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan
kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi
Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses
terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak
penandatangan akta. Dengan demikin, para pihak dapat mementukan dengan bebas
untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan
ditandatanganinya.[9]
Adapun kewajiban Notaris untuk merahasiakan segala sesuatu
mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal
16 ayat (1) huruf e. Dan Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau
memberitahukan Isi Akta, Grosse Akta, Salinan Akta Atau Kutipan Akta, kepada
orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang
memperoleh hak sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal
54. Hal ini merupakan wujud pelaksanaan asas kepercayaan pelaksanaan tugas
jabatan Notaris yang baik.
Dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris Pasal 54 menyatakan, Notaris hanya dapat memberikan,
memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau
Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris,
atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.
Dalam kaitan dengan ini, khususnya mengenai kata kepada orang yang berkepentingan langsung
pada akta dan orang yang
memperoleh hak dalam rumusan pasal tersebut dipandang dapat memberikan
peluang kesalahan penafsiran kepada masyarakat dan Notaris sendiri dalam
praktek pelaksanaan tugas jabatan Notaris maupun dalam proses-proses tertentu
yang melibatkan akta Notaris. Dalam penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris
Pasal 54 menyatakan cukup jelas, maka siapa-siapa saja yang dimaksud orang yang
berkepentingan langsung pada akta dan orang yang memperoleh hak dalam rumusan
ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 54.
Seperti halnya ketika Majelis Pengawas Daerah bertindak
berdasarkan kewenangan yang diberikan kepadanya sebagaimana tercantum dalam
Pasal 66 ayat (1) huruf a, atau orang lain yang mengatakan berkepentingan dalam
akta untuk meminta, atau
memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, apakah
Majelis Pengawas Daerah termasuk dalam orang yang berkepentingan dalam akta.
Mengingat
ketidakpastian hukum merupakan masalah besar dan sistematik yang mencakup
keseluruhan unsur masyarakat dan juga merupakan hambatan untuk mewujudkan
perkembangan politik, sosial dan ekonomi yang stabil dan adil yang bersumber
dari hukum tertulis yang tidak jelas dan kontradiktif satu dengan lainnya, maka
perlu melakukan suatu analisis hukum
mengenai rumusan ketentuan pasal tersebut khusus mengenai kata kepada orang yang berkepentingan langsung
pada akta dan orang yang memperoleh
hak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 54.
2. Rumusan
Masalah
Mengacu kepada uraian latar belakang diatas, maka yang
menjadi fokus dalam analisa ini adalah :
Apakah
orang yang berkepentingan langsung pada akta dan orang yang memperoleh hak
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 54 termaksud siapa
saja yang merasa memperoleh hak dapat meminta, melihat, atau mengetahui Isi
Akta, Grosse Akta, Salinan Akta Atau Kutipan Akta salinan akta kepada Notaris?
3. Pembahasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jabatan berarti pekerjaan (tugas), dalam
pemerintah, atau organisasi. Arti Jabatan seperti ini dalam arti yang umum,
untuk setiap bidang pekerjaan (tugas) yang sengaja dibuat untuk keperluan yang
bersangkutan baik dalam pemerintahan maupun organisasi yang dapat diubah sesuai
dengan keperluan.
Jabatan dalam arti sebagai Ambt merupakan fungsi, tugas, wilayah kerja pemerintah pada umumnya
atau badan perlengkapan pada khususnya. Istilah atau sebutan Jabatan merupakan
suatu istilah yang dipergunakan sebagai fungsi atau tugas ataupun wilayah kerja
dalam pemerintahan.[10]
Jabatan (ambt)
ialah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring
van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan
negara (kepentingan umum). Selanjutnya, dikemukakan pula bahwa yang dimaksud
dengan “lingkungan pekerjaan tetap” ialah, suatu lingkungan yang
sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat-teliti (zoveel mogelijk nauwkeuring omsschreven).[11]
Jabatan yang merupakan subyek hukum yakni pendukung hak
dan kewajiban dan merupakan suatu lingkungan pekerjaan tetap yang bersifat continue (berkesinambungan) yang
diadakan atau kehadirannya untuk kepentingan negara. Jabatan Notaris merupakan
suatu Jabatan, sebagaimana ditentukan dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang oleh hukum Tatanegara kekuasaan
diberikan bukan kepada Pejabat, tetapi diberikan kepada Jabatan (lingkungan
pekerjaan).
Menurut Max Weber, kekuasaan disebut sebagai wewenang
rasional dan legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistim hukum dan
dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat
dan bahkan diperkuat oleh Negara.[12]
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa
atau organ sehingga negara itu dikonsepkan sebagai hubungan jabatan-jabatan,
dimana jabatan-jabatan itu di isi oleh pejabat-pejabat yang mendukung hak dan
kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban. Pejabat dapat
diartikan sebagai pegawai pemerintah yang memegang jabatan (unsur pimpinan)
atau orang yang memegang suatu jabatan[13] atau pejabat adalah orang
yang memegang atau orang yang memangku suatu jabatan. Hal ini berbeda dengan
Penjabat, sebab Penjabat adalah pemegang jabatan orang lain untuk sementara
waktu (temporary).
Pejabat yang dimaksudkan disini adalah Pejabat Umum sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1868 yang
menyatakan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan undang-undang oleh dan atau pejabat umum yang berwenang untuk
itu ditempat akta itu dibuat. Selanjutnya dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal
1 angka 1 yaitu Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Hal ini
tidak bisa disamakan dengan Pejabat Pegawai Negeri Sipil, dimana pegawai yang merupakan bagian dari suatu korps
pegawai yang tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang digaji oleh
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu “Notaris
adalah pejabat pemerintah tanpa diberi gaji oleh pemerintah, Notaris
dipensiunkan oleh pemerintah tanpa mendapat uang pensiun dari pemerintah”.
Berdasarkan ketentuan ketentuan tersebut diatas, Notaris
dikualifikasi sebagai Pejabat Umum, yang merupakan suatu lingkungan pekerjaan
tetap yang berkesinambungan sengaja diadakan oleh negara dalam sisitim hukum
Indonesia untuk menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam melayani masyarakat
dengan kewenangan yang diberikan kepadanya sebagaimana ditentukan dalam
Undang-undang Jabatan Notaris Pasal 15 yaitu :
Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semua itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Jabatan
Notaris merupakan jabatan kepercayaan sebagaimana tersebut diatas. Sebagai
suatu jabatan kepercayaan maka orang (subyek) yang menjalankan jabatan tersebut
harus dapat dipercaya sebab tugas jabatan Notaris adalah menuangkan segala hak
dan kewajiban para pihak ke dalam suatu akta otentik yang mewajibkan Notaris
untuk merahasiakan segala sesuatu apapun yang tertuang dalam akta Notaris.
sehingga sebelum menjalankan jabatannya Notaris wajib mengucap sumpah
berdasarkan keyakinan (agama) masing agar segala yang diperbuatnya diluar dari
kehendak peraturan perundang-undangan maupun para pihak harus dapat bertanggung
jawab bukan kepada para pihak, Majelis Pengawas Notaris, penyidik, penuntut
umum atau hakim akan tetapi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan
langit dan bumi beserta segala isinya dan yang memberikan nafas kehidupan
kepada seluruh mahkluk hidup di muka bumi ini yang memegang ketetapan-ketetapan
atas tingkah laku segala mahkluk ciptaannya dan menjatuhkan saksi yang
seadil-adilnya berdasarkan perbuatan masing-masing mahkluk hidup di muka bumi
yang tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam Kitab Suci
masing-masing agama di dunia. Sumpah atau janji yang dilakukan Notaris sebelum
menjalankan tugas jabatannya, mengandung dua hal, yaitu :[14]
1.
Secara
vertikal kita wajib bertanggungjawab kepada Tuhan, karena sumpah atau janji
yang kita ucapkan berdasarkan agama kita masing-masing, dengan demikian artinya
segala sesuatu yang kita lakukan/dikerjakan akan diminta pertanggungjawaban
dalam bentuk yang dikehendaki Tuhan;
2.
Secara
horizontal kepada negara dan masyarakat, artinya negara telah memberi
kepercayaan kepada kita untuk menjalankan sebagian tugas Negara dalam bidang
Hukum Perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna, dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa
Notaris mampu memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta Notaris, dan percaya bahwa
Notaris mempu menyimpan (merahasiakan) segala keterangan atau ucapan yang
diberikan di hadapan Notaris.
a. Akta
Notaris
Undang-Undang Jabatan
Notaris Pasal 1 angka 7 menyebutkan akta Notaris adalah akta otentik
yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam undang-undang ini.
Otensitas dari
akta Notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) tersebut, yaitu Notaris dijadikan
sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya
tersebut memperoleh sifat akta otentik. Akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai
sifat otentik, bukan oleh karena undang-undang menerapkan demikian, tetapi
karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum. Hal ini sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1868 yang
menyatakan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.
G.H.S. Lumban Tobing mengemukakan:
Akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan satu akta yang memuat “relaas”
atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu
keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris
sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang dibuat
sedemikian dan memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan yang
dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat “oleh” (door) Notaris (sebagai
pejabat umum). Akan tetapi akta Notaris dapat juga berisikan suatu “cerita”
dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di
hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain
kepada Notaris dalam menjalankannya jabatannya dan untuk keperluan mana pihak
lain itu sengaja datang di hadapan Notaris dan memberikan keterangan itu atau
melakukan perbuatan itu di hadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan itu
dikonstatir oleh Notaris di dalam suatu akta otentik. Akta sedemikian dinamakan
akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) Notaris.[15]
Dari uraian di
atas dapat diketahui, bahwa ada 2 golongan akta notaris, yakni[16]:
1.
akta yang dibuat “oleh” (door)
notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta pejabat” (ambtelijke
akten); Contoh: antara lain: pernyataan keputusan rapat pemegang saham
dalam perseroan terbatas, akta pencatatan budel.
2.
akta yang dibuat “di hadapan” (ten
overstan) Notaris atau yang dinamakan “akta partij (partij-akten).
Contoh, akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan
di muka umum atau lelang), wasiat, kuasa.
Akta-akta yang dibuat “oleh” (door) atau akta yang
dibuat “di hadapan” (ten overstan) harus menurut bentuk sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 38 dan tata cara
(prosedur) yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 39 -
53.
Ruang lingkup
pelaksanaan tugas jabatan Notaris yaitu membuat akta otentik sebagaimana yang
telah ditegaskan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 15. dalam kaitan
ini, Notaris membuat akta otentik berdasarkan kewenangan yang diberikan
kepadanya yang tidak diberikan kepada pejabat umum lainnya (Pasal 1 angka 1)
baik itu akta yang dibuat “oleh” (door) atau akta yang dibuat “di
hadapan” (ten overstan).
Akta yang
dibuat “oleh” (door) atau akta yang dibuat “di hadapan” (ten
overstan) Notaris
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik. Tanpa diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan Notaris tidak
mungkin membuat akta otentik. Karena yang tertuang dalam akta otentik adalah
mengenai suatu perbuatan tertentu yang diharuskan dibuat dalam bentuk akta
otentik dan mengenai segala pernyataan atau keterangan dari yang berkepentingan
ke dalam suatu akta otentik sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh dan
sah menurut hukum.
Akta Notaris
merupakan akta otentik sebab akta tersebut dibuat oleh pejabat umum dalam
bentuk yang telah ditentukan oleh aturan hukum bukan oleh
karena undang-undang menerapkan demikian. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1868 yang menyatakan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.
Akta Notaris
sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna memuat aspek
lahiriah, formal dan materil sebagai wujud kesempurnaan dari akta Notaris.
Kesempurnaan kekuatan pembuktian Akta otentik tidak bisa di ganggu gugat,
selama tidak bisa dibuktikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan melalui
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Arti akta otentik mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula ditentukan bahwa siapapun yang
terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa dibuktikan bukti sebaliknya
berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap[17].
Syarat-syarat
pembatalan dalam akta dapat diketahui dengan adanya syarat sahnya perjanjian
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 yaitu :[18]
1.
Sepakat mereka yang mengikat dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena
mengenai subyek perjanjian sedangkan kedua syarat yang terakhir dinamakan
syarat obyektif karena mengenai obyek perjanjian. Apabila syarat yang pertama
dan kedua tidak terpenuhi maka perbuatan hukum itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan apabila syarat
yang ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perbuatan hukum itu batal demi
hukum (van rechtswege nietig).
Akta Notaris sebagai akta otentik, meruapakn alat bukti yang
sah menurut hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Akta Notaris
berisikan suatu perbuatan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dibuat dalam bentuk otentik maupun berisikan mengani suatu peristiwa, keadaan,
pernyataan atau keterangan menganai hak dan kewajiban yang para pihak dalam akta
maupun orang yang mendapat hak darinya. Kesempurnaan dari akta otentik dalam
pembuktian bidang keperdataan harus dilihat apa adanya atau dengan kata lain
mengharuskan bagi siapapun dilarang menafsirkan lain mengenai apa yang tertuang
dalam akta tersebut. Disebut
akta Notaris karena akta tersebut sebagai akta otentik yang dibuat dihadapan
atau oleh Notaris yang memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.[19]
b. Minuta
Akta, Salinan, Kutipan, Grosse Akta
Pasal 1 angka 8 menyebutkan bahwa Minuta Akta adalah asli
Akta Notaris. Pengertian Minuta dalam hal ini dimaksudkan akta asli yang
disimpan dalam Protokol Notaris. dalam minuta ini juga tercantum asli tanda
tangan, paraf para penghadap atau cap jempol tangan kiri dan kanan, para saksi
dan Notaris, renvooi, dan bukti-bukti lain yang untuk mendukung akta yang
diletakan pada minuta akta tersebut.[20]
Pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa Salinan Akta adalah
salinan demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta
tercantum frasa “di berikan sebagai salinan yang sama bunyinya”. Salinan akta
dapat dikeluarkan jika ada akta dalam Minutanya (In Minuta) yang sama bunyinya.
[21]
Pasal 1 angka 10 menyatakan bahwa Kutipan Akta adalah
kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari akta dan pada bagian
bawa kutipan tercantum frasa “diberikan sebagai kutipan”.
Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa Grosse akta adalah
salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
c. Penghadap
dan Saksi Akta
Undang-Undang
Jabatan Notaris Pasal 39 dan Pasal 40 menegaskan bahwa penghadap harus memenuhi
syarat paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan
cakap melakukan suatu perbuatan hukum. Dan setiap akta yang dibacakan oleh
Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan
perundang-undangan menentukan lain dan paling sedikit berumur 18 (delapan
belas) tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum dan
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 39 dan
Pasal 40. Sesuai aturan hukum untuk menghadap Notaris yang bersangkutan telah
memenuhi syarat untuk bertindak dihadapan Notaris.[22]
Bahwa
kedewasaan secara yuridis selalu mengandung pengertian tentang adanya
kewenangan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa adanya
bantuan pihak lain, apakah ia, oleh orang tua si anak atau wali si anak. Jadi
seorang adalah dewasa apabila orang itu diakui oleh hukum untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri, dengan tanggung jawab sendiri atas apa yang ia lakukan
jelas disini terdapatnya kewenangan seseorang untuk secara sendiri melakukan
suatu perbuatan hukum.[23]
Unsur dari
kedewasaan, antara lain[24] :
1.
indicator
utama untuk melakukan kedewasaan secara hukum adalah adanya kewenangan kepada
seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, tanpa bantuan orang tua
ataupun wali.
2.
Seseorang
yang telah dewasa dapat dibebani tanggung jawab atas segala perbuatan hukum
yang dilakukannya.
3.
Batasan
usia tersebut merupakan pengaturan bagi perbuatan hukum secara umum, bukan
untuk perbuatan hukum tertentu saja.
Adapun dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris mengenal adanya Penghadap Dikenal Oleh Notaris
atau Diperkenalkan Kepada Notaris sebagaimana yang ditentukan dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 39 ayat (2) yang menegaskan bahwa penghadap
harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang
saksi pengenal. Dalam berbagai akta Notaris banyak digunakan kata untuk
membuktikan bahwa yang bersangkutan datang kepada Notaris atas kemauannya
sendiri, misalnya kata Menghadap atau
Telah Menghadap atau Berhadapan atau Telah Hadir di Hadapan. Bahwa yang dimaksud sebenarnya (penghadap)
yang bersangkutan adalah kehadiran yang nyata (verschijenen) secara fisik atau digunakan kata Menghadap terjemahan
dari verschijenen, yang berarti
datang menghadap yang dimaksudkan dalam arti yuridisnya adalah kehadiran nyata.[25]
Mereka yang
menghadap tersebut yang tercantum namanya dalam akta, dalam praktek ada
kenyataan yang datang menghadap Notaris lebih dari 2 (dua) orang, meskipun
datang bersama-sama mereka yang akan membuat akta, maka tetap yang dimaksud
penghadap dan menghadap adalah mereka yang kemudian namanya tercantum dalam
akta.[26]
d.
Notaris
hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan Isi Akta, Grosse
Akta, Salinan Akta Atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung
pada akta atau orang yang memperoleh hak.
Secara historis tugas dan kewenangan utama Notaris adalah
membuat akta otentik baik akta pejabat maupun akta partij dalam bentuk minuta
akta, kecuali untuk akta-akta tertentu dan atas permintaan yang langsung
berkepentingan, Notaris dapat membuat akta dalam bentuk in originali.
Minuta Akta adalah asli akta yang disimpan dan merupakan
bagian dalam protokol Notaris dan dari minuta akta yang disimpan ini Notaris
berwenang mengeluarkan Salinan, Kutipan, dan Grosse Akta, sedangkan untuk akta
in originali adalah Asli Akta yang diberikan kepada yang langsung
berkepentingan dalam akta dan akta in originali ini tidak disimpan oleh Notaris
dalam Protokol Notaris. sehingga untuk akta in originali Notaris tidak dapat
mengeluarkan salinan, kutipan dan grosse akta.
Yang dimaksud
dengan Minuta (ninit) adalah akte
yang asli yang ditandatangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan Notaris dan
di simpan dalam arsip Notaris. Jadi bukan salinan (turunan) atau kutipan dan
juga bukan grosse akta.[27] Kutipan dapat disebut
juga sebagai turunan dari sebagaian kata, jadi merupakan turunan tidak lengkap.
Kutipan ini diambil dari sebagian Minuta Akta, pengutipan dilakukan sesuai
dengan permintaan yang bersangkutan, dalam arti bagian mana yang harus dikutip.
Dalam akta dan akhir akta tetap harus ada. Kutipan dari Minuta Akta tersebut
ditempatkan pada isi akta, dan pada akhir akta dituliskan diberikan sebagai
kutipan.[28]
Dari semua akta yang dibuat dalam bentuk minuta akta,
Notaris berwenang dan sekaligus berkewajiban untuk mengeluarkan salinan,
kutipan, grose akta dan memperlihatkan atau memberitahukan isi akta kepada yang langsung berkepentingan dalam
akta tanpa batasan jumlah salinan, kutipan akta, kecuali untuk grosse akta
dengan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” Notaris hanya dapat mengeluarkan 1 (satu)
grosse akta pertama kepada yang langsung berkepentingan dalam akta sedangkan
untuk grosse akta kedua dan selanjutnya hanya kepada yang langsung
berkepntingan dalam akta berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Jabatan Notaris.
·
Orang
yang berkepentingan langsung pada akta
Undang-undang
Jabatan Notaris menegaskan bahwa yang langsung berkepentingan dalam akta
hanyalah para penghadap (para pihak yang datang mengahadap Notaris dan menugaskan
Notaris untuk membuat akta serta menandatangani akta). Penghadap dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris, ada penghadap yang dikenal Notaris dan penghadap
yang diperkenalkan kepada Notaris. Penghadap (para penghadap) disebut Komparan atau Comparanten yaitu mereka yang didalam akta Notaris disebut sebagai
orang atau orang-orang yang datang menghadap Notaris (yang datang secara
personlijk menghadap dihadapan Notaris. Kedatangan para penghadap dihadapan
Notaris ini untuk melakukan perbuatan hukum yang dikehendaki untuk dinyatakan
dalam akta yang bersangkutan, dan dapat bertindak untuk dirinya sendiri maupun
untuk dan atas nama orang (orang-orang) lain atau badan (badan-badan) lain.
Identitas dari
para penghadap harus dikenal oleh Notaris, sebab jika tidak, mungkin terjadi
pemalsuan mengenai diri seseorang dihadapan Notaris.[29]
Kenal dalam arti yuridis adalah ada kesesuaian antara nama dan alamat yang
disebutkan oleh yang bersangkutan di hadapan Notaris dan juga dengan
bukti-bukti atau identitas atas dirinya yang diperlihatkan kepada Notaris.[30] Dikenalinya identitas (para) penghadap oleh
Notaris adalah syarat mutlak untuk sahnya suatu akta.[31]
Dan kenal tersebut tidak terbatas seperti tersebut diatas, tapi juga harus
diperlihatkan bahwa yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk melakukan suatu
tindakan hukum yang akan disebutkan dalam akta.[32]
Pada pengertian
yang pertama sebagaimana diuraikan diatas, penghadap secara langsung dikenal
oleh Notaris, Notaris dapat melakukan pengenalan dengan cara penghadap
diperkenalkan kepadanya (Notaris) oleh 2 (dua) orang saksi pengenal.[33]
Apakah perkenalan identitas dari penghadap itu betul atau tidak, tidak menjadi
soal. Dengan diperkenalkannya penghadap kepada Notaris oleh saksi pengenal,
maka Notaris sudah memenuhi syarat bahwa penghadap dikenal olehnya, dank arena
itu ia sudah memenuhi syarat formal dalam pembuatan akta.[34]
Akan tetapi dalam kaitan ini, perlu dicari alasan, kenapa cara pengenalan
seperti itu ada dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Bahwa pengenalan seperti
itu dilakukan karena ketiadaan atau ketidakjelasan alat bukti berupa identitas
para penghadap, dan juga kurang jelasan kewenangan yang bersangkutan untuk
melakukan suatu tindakan hukum dihadapan Notaris, dengan demikian para
penghadap yang dikenal Notaris sebagai saksi pengenal akan memperkenalkannya
kepada Notaris sehingga tidak ada keraguan untuk membuat akta Notaris atas
permintaan para penghadap tersebut, dan saksi pengenal tersebut akan turut
bertanggung jawab terhadap identitas dan penghadap yang diperkenalkannya.[35]
Mereka yang menghadap tersebut yang tercantum namanya
dalam akta, dalam praktek ada kenyataan yang datang menghadap Notaris lebih
dari 2 (dua) orang, meskipun datang bersama-sama mereka yang akan membuat akta,
maka tetap yang dimaksud penghadap dan menghadap adalah mereka yang kemudian
namanya tercantum dalam akta.[36]
Oleh sebab itu
pengenalan identitas penghadap oleh saksi pengenal sangat diperlukan bukan
hanya sebagai bentuk formalitas memperkenalkan kepada Notaris untuk membuat
suatu akta otentik, melainkan harus benar-benar memperhatikan segala bentuk
syarat-syarat penghadap sebagaimana yang telah ditentikan dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris. Dan yang berkepntingan langsung dalam suatu akta Notaris
hanyalah para penghadap dan penghadap yang diperkenalkan oleh 2 (dua) orang
saksi pengenal.
·
Orang
yang mempunyai hak terhadap akta
Sebagaimana
telah disebutkan diatas penghadap (para penghadap) disebut Komparan atau Comparanten yaitu
mereka yang didalam akta Notaris disebut sebagai orang atau orang-orang yang
datang menghadap Notaris (yang datang secara personlijk menghadap dihadapan
Notaris. Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang disebut orang yang memperoleh
hak yaitu pihak yang diwakili oleh
penghadap. Dalam kaitan ini, Comparanten harus dibedakan dengan Partijen. Partijen adalah siapa saja
yang punya kepentingan dalam isi akta yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 39 menegaskan
bahwa penghadap harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 (delapan belas)
tahun atau telah menikah dan cakap melakukan suatu perbuatan hukum. Dalam hal
ini, yang dimaksud dengan orang-orang yang memperoleh hak dalam akta adalah
mereka yang disebut sebagai partijen yaitu mereka yang mempunyai kepentingan
dalam isi akta yaitu:
1.
Orang
yang memberikan kuasa kepada orang lain untuk bertindak untuk dan atas namanya
dalam melakukan suatu perbuatan hukum dalam akta.
2.
Orang
yang diwakili oleh orang lain yang bertindak untuk dan atas namanya dalam
melakukan suatu perbuatan hukum dalam akta, karena belum dewasa dan tidak cakap
melakukan perbuatan hukum dalam akta sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris Pasal 39, dan direktur mewakili PT.
3.
Orang
yang dalam hal khusus diwakili oleh orang lain :
-
Suami
istri menjual harta bersama perlu persetujuan
-
Anak
di bawah umur membuat perjanjian kawin perlu dibantu dibantu oleh yang
seharusnya memberikan izin kawin
-
Direktur
yang mewakili Direksi untuk menjamin uang atas nama perseroan perlu mendapat
persetujuan komisaris.
e. Kesimpulan
Mengacu pada
permasalahan dalam penulisan ini yaitu mengenai siapa saja yang dimaksud orang
yang berkepentingan langsung pada akta atau orang yang memperoleh hak
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 54 untuk meminta, melihat, atau mengetahui Isi
Akta, Grosse Akta, Salinan Akta Atau Kutipan Akta salinan akta kepada Notaris,
maka penulis berkesimpulan :
Orang
yang berkepentingan langsung pada akta hanyalah para penghadap dan para
penghadap yang diperkenalkan kepada Notaris oleh 2 (dua) orang saksi pengenal
dan orang yang mempunyai hak terhadap akta yaitu orang yang memberikan kuasa
kepada orang lain untuk bertindak untuk dan atas namanya dalam melakukan suatu
perbuatan hukum dalam akta, Orang yang diwakili oleh orang lain yang bertindak
untuk dan atas namanya dalam melakukan suatu perbuatan hukum dalam akta, karena
belum dewasa dan tidak cakap melakukan perbuatan hukum dalam akta sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Pasal 39, dan direktur mewakili
PT, serta orang yang dalam hal khusus diwakili oleh orang lain yaitu suami
istri menjual harta bersama perlu persetujuan, anak di bawah umur membuat
perjanjian kawin perlu dibantu dibantu oleh yang seharusnya memberikan izin
kawin, direktur yang mewakili Direksi untuk menjamin uang atas nama perseroan
perlu mendapat persetujuan komisaris.
[1].Habib Adjie, Hukum
Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris), Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 11
[2].Habib Adjie, Hukum
Notaris Indonesia, Ibid.
[3].Habib Adjie, Hukum
Notaris Indonesia , Ibid.
[4].Sonny-tobelo.blogspot.com, Teori
Kewenangan, diaskes pada tanggal 18 Desember 2012, Pukul : 10.30 WIB
[5].NG. Yudara, Notaris dan
Permasalahannya, Makalah disampaikan pada Kongres INI pada tanggal 25
Januari 2006 di Jakarta.
[6].Habib Adjie, Hukum
Notaris Indonesia, Op.Cit, hlm. 35
[7].Habib Adjie, Hukum
Notaris Indonesia, Ibid, hlm. 24
[8].Habib Adjie, Politik
Hukum Kenotariatan, Bahan Ajar, Magister Kenotariatan Universitas
Narotama, Surabaya, 2012, hlm. 26
[9].Penjelasan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
[10].Habib Adjie, Hukum
Notaris Indonesia, Op.Cit, hlm. 10
[11].E. Utrecht, sebagaimana dikutip
oleh Habib Adjie, Ibid.
[12].Sonny-tobelo.blogspot.com, Op.Cit.
[13].Badudu – Zain, sebagaimana
dikutip oleh Habib Adjie, Op.Cit, hlm. 11
[14].Ibid, hlm. 63
[15].G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan
Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 51
[16].Ibid, hlm. 51-52
[17].Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta
Notaris, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 6
[18].Mariam Darus Badrul Zaman, Hukum
Pidana, (Kumpulan Kuliah), Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 73
[20].Habib Adjie, Hukum
Notaris Indonesia, Op.Cit, hlm. 46
[21].Ibid, hlm. 47
[22].Ibid, hlm. 145
[23].Ibid, hlm. 146
[24].Ibid.
[25].Ibid, hlm. 147
[26].Ibid,.
[27].R.
Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (suatu
penjelasan), Cetakan Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993,
hlm. 176
[28].Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit. hlm 47
[30].Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit. hlm. 148
[32].Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit
[33].Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, ibid
Komentar
Posting Komentar