Penggunaan Bahasa Dalam Akta Notaris Wajib Bahasa Indonesia Yang Tunduk Pada Kaidah Bahasa Indonesia Yang Baku
Dalam konsiderans menimbang
undang-undang nomor 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan huruf a menyatakan bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan
Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa
yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1
angka 2 undang-undang tersebut menyatakan bahwa Bahasa Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah
bahasa resmi nasional yang digunakan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-undang nomor 24 tahun
2009 Pasal 27 menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi
negara. Dalam penjelasannya menyatakan bahwa Yang dimaksud “dokumen resmi
negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat
keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian,
putusan pengadilan. Selanjutnya dalam undang-undang nomor 24 tahun 2009 pasal
31 ayat (1) menyatakan Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman
atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik
Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
Dengan adanya kata wajib sebagaimana tersebut pada pasal tersebut
artinya diharuskan tanpa syarat setiap dokumen resmi yaitu “….akta jual beli, surat
perjanjian….” (undang-undang nomor 24 tahun 2009 pasal 27) dan “….nota
kesepahaman atau perjanjian…” (undang-undang nomor 24 tahun 2009 pasal 31 ayat
(1)) berbahasa Indonesia. Dalam www.artikata.com
wajib artinya “harus dilakukan; tidak boleh
tidak dilaksanakan”.
Akta notaris adalah dokumen
negara, yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris, karena akta notaris
adalah suatu akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh undang-undang
dan yang dikehendaki oleh yang berkepntingan (UUJN Pasal 15). Sebagai dokumen
negara yang berisi tentang semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh undang-undang dan yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
(para penghadap atau orang yang mewakili para penghadap) menggunakan bahasa Indonesia
sebagaimana yang dimaksud dalam UUJN Pasal 43 ayat (1) beserta penjelasannya
yaitu bahasa Indonesia yang baku.
Dalam UUJN pasal 43 ayat (1)
menyatakan bahwa akta dibuat dalam bahasa indonesia, dan dalam penjelasannya
menyatakan bahwa bahasa indonesia yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
bahasa indonesia yang tunduk pada kaidah kalimat bahasa Indonesia yang baku. Namun
dalam ayat (4) menyatakan bahwa akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang
dipahami oleh notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki
sepanjang undang-undang tidak menentukan lain, dalam penjelasannya menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan “pihak yang berkepntingan” adalah penghadap atau
pihak yang diwakili oleh penghadap.
Jika pasal tersebut dikaitkan dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, khususnya pasal 27 juncto pasal 31 ayat (1) secara
substansi sangat berbeda, dan secara normatif tidak sejalan. Berdasarkan UU No.
24 Tahun 2009 pasal 27 juncto pasal 31 ayat (1) menyatakan wajib “harus dilakukan; tidak boleh tidak
dilaksanakan” menggunakan
bahasa Indonesia sedangkan UUJN pasal 43 ayat (4) menyatakan akta notaris dapat
dibuat dalam bahasa lain yang diinginkan oleh para penghadap dan dimengerti
oleh Notaris dan saksi.
Oleh karena itu dengan menggunakan Asas
Prefensi Hukum, dalam hal ini UU No. 24 Tahun 2009 pasal 27 juncto pasal 31
ayat (1) harus ditempatkan sebagai aturan yang khusus (lex specialis), yang mengatur secara khusus mengenai penggunaan
bahasa Indonesia, maka setiap akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
wajib menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUJN pasal 43
ayat (1) beserta penjelasannya yaitu bahasa indonesia yang baku. Dan untuk
memperkecil terjadinya konflik norma, maka sebaiknya pasal 43 ayat (4) tersebut
dihapus saja pada perubahan UUJN yang baru dengan memperhatikan asas
pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan Bab II dengan Judul
Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Mengingat bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal
36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 (UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 25 ayat (1)), sebagai
jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana
pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi
antar daerah dan antar budaya daerah (Pasal 25 ayat (2)) dan sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga,
serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa
(Pasal 25 ayat (3)), sebaiknya akta otentik yang merupakan suatu dokumen
negara diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia
yang baku maka pasal 43 ayat (1) seharusnya berbunyi demikian “Akta wajib
dibuat dalam bahasa Indonesia” dan penjelasannya berbunyi “bahasa indonesia yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah wajib
bahasa indonesia yang tunduk pada kaidah kalimat bahasa Indonesia yang baku.
Komentar
Posting Komentar